Selasa, 16 November 2010

Mengkritisi DZIKIR JAMA’I (Dzikir Bersama) Part-3

Bismillah wal hamdulillah, akhirnya Alloh memudahkan kami untuk meneruskan artikel ini…

Dalil keenam:

Bahwa amal dzikir jama’i telah diperaktekkan oleh mayoritas muslimin, dan mayoritas itulah yang dimaksud dengan al-Jama’ah, padahal kita tahu Nabi -shollallohu alaihi wasallam- telah mewasiatkan kita agar selalu bersama al-Jama’ah dalam banyak hadits.

Jawaban:

1. Sungguh ini merupakan dalil yang sangat lemah, karena salahnya penafsiran kata “al-Jama’ah”. Penafsiran yang tepat adalah sebagaimana dikemukakan oleh para imam berikut ini:

a. Sahabat Ali bin Abi Tholib: Demi Alloh (yang dimaksud dengan) sunnah adalah sunnahnya Muhammad -shollallohu alaihi wasallam-, sedang bid’ah adalah apapun yang menyelisihi sunnah. Dan demi Alloh, yang dimaksud dengan al-Jama’ah adalah bersama dengan ahlul haq meski jumlah mereka sedikit, sedang al-Furqoh adalah bersama dengan ahlul batil meski jumlah mereka banyak. (lihat Kanzul Ummal 1/378)

b. Sahabat Ibnu Mas’ud RhadiAllahuanhu: “Al-Jama’ah adalah apa yang sesuai dengan kebenaran meski kau seorang diri”… dalam riwayat lain redaksinya: “Sesungguhnya al-Jama’ah adalah apa yang sesuai dengan ketaatan kepada Alloh” (Tahdzibul Kamal 22/264-265)

c. Nu’aim bin Hammad RhadiAllahuanhu : Jika al-Jama’ah itu rusak, maka tetaplah kamu menjalani apa yang dilakukan oleh al-Jama’ah sebelum mereka rusak, meski kamu hanya seorang diri. Karena sesungguhnya kamu di saat seperti itu tetap disebut al-Jama’ah (meski hanya seorang diri). (Tahdzibul Kamal 22/265)

d. Abu Syamah asy-Syafi’i : Setiap ada perintah untuk tetap bersama al-Jama’ah, maka maksudnya adalah: (perintah untuk) menetapi kebenaran dan mengikutinya, meski orang yang berpegang-teguh dengannya itu sedikit dan yang menyelisihinya banyak. Karena kebenaran itu adanya pada al-Jama’ah yang pertama, pada masa Nabi dan para sahabatnya, dan tidak perlu peduli dengan banyaknya ahli bid’ah setelah mereka. (al-Ba’its li Abi Syamah, hal:19)

e. Ibnul Qoyyim : Mereka telah menjadikan yang sunnah itu bid’ah, dan menjadikan yang ma’ruf itu munkar, karena saking sedikitnya orang yang membelanya di banyak kurun waktu dan tempat. Mereka lalu berdalih dengan hadits “Barangsiapa yang “syadz” (menyendiri), niscaya nanti akan menyendiri di neraka”. Orang-orang yang menyelisihi (kami) itu tidak tahu bahwa yang dimaksud dengan “syadz” dalam hadits itu adalah apapun yang menyelisihi kebenaran, meski semua manusia menjalaninya kecuali satu orang, maka merekalah yang disebut “syadz” (orang yang menyendiri). (I’lamul Muwaqqi’in 3/397)

Dari nukilan-nukilan di atas kita bisa mengambil kesimpulan bahwa maksudnya “al-Jama’ah” adalah golongan yang berada di jalan yang haq, yakni golongan yang mendasari semua amalannya dengan Alqur’an dan Sunnah dengan pemahaman para salaful ummah, meski mereka adalah kelompok minoritas.


2. Mayoritas itu tidak selalu benar, Alloh berfirman:

وإن تطع أكثر من في الأرض يضلوك عن سبيل الله

Jika kamu mengikuti kebanyakan orang di bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Alloh. (al-An’am:116)

وقليل من عبادي الشكور

Dan sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku yang banyak bersyukur. (Saba’: 13)

الزم طرق الهدى، ولا يضرك قلة السالكين، وإياك وطرق الضلالة، ولا تغتر بكثرة الهالكين

Al-Fudloil bin Iyadl mengatakan: “Tetapilah jalan-jalan petunjuk, jangan pedulikan sedikitnya orang yang melaluinya! Dan jauhilah jalan-jalan kesesatan, jangan terkecoh dengan banyaknya orang yang rusak!”.

3. Jika memang apa yang mereka katakan benar, apakah mereka akan mengatakan bahwa kekafiran itu benar, karena penduduk bumi ini mayoritas kafir?!.. Apakah mendengarkan musik sekarang menjadi halal, karena jarangnya orang yang selamat dari hal itu?!.. Apakah pacaran menjadi halal karena mayoritas pemuda-pemudi muslim melakukannya?!.. Apakah merokok yang membahayakan manusia, itu menjadi halal karena kebanyakan orang melakukannya?!.. Sungguh kebenaran bukanlah dilihat dari jumlah yang banyak, tapi timbangan kebenaran adalah Alquran dan Sunnah sesuai pemahaman para salafus sholih (generasi terbaik umat ini).

Abu Abdillah bin Ishaq al-Ja’fari mengatakan: “Dahulu Abdulloh (bin hasan bin Ali bin Abi tholib) sering duduk bersama Robi’ah, suatu hari mereka berdiskusi. Lalu ada seseorang menyela: “Tapi yang diamalkan orang-orang tidak seperti ini”. Abdulloh pun menjawab: “Apabila telah banyak orang yang jahil (dalam agama), hingga mereka menjadi para penguasa, apakah mereka menjadi hujjah hingga mengalahkan sunnah?!” maka Robi’ah menimpali: “Aku bersaksi, sungguh ini perkataan cucu para nabi!”. (al-I’tishom 1/460, al-Baits li Abi Syamah, hal:7)

Dari kisah ini kita dapat menarik kesimpulan, bahwa banyaknya para jahilin dan ahli bid’ah, meski memiliki kekuasaan dan pengaruh yang kuat, bukanlah hujjah yang bisa mengalahkan sunnah. Sungguh tidak boleh syariat Alloh dan Rosulnya dikalahkan oleh perbuatan manusia, siapa pun orangnya.

Dalil ketujuh:

Atsar dari salaf yang mengingkari dzikir jama’i bertentangan dengan nash-nash yang lebih kuat, dan sesuai kaidah ushuliyah: dalil yang lebih kuat harus kita dahulukan.

Penjelasan: Atsar dari salaf yang mereka maksud, diantaranya adalah:

1. Atsar dari Umar bin Khottob $.

Sebuah riwayat mengatakan: Suatu ketika seorang pegawainya Umar bin Khottob menulis surat kepada beliau, bahwa di daerahnya ada sekelompok orang yang berkumpul bersama, untuk mendoakan kaum muslimin dan para pemimpinnya. Maka umar pun menjawab suratnya, dan memerintahkan agar dia dan mereka menghadap kepadanya. Ketika dia datang, Umar mengatakan kepada penjaga pintunya: “Siapkan cambuk untukku!”. Lalu ketika mereka masuk, Umar langsung memukul pimpinan mereka dengan cambuknya. Maka pimpinan itu mengatakan: “Wahai Amirul Mukminin, sungguh kami bukanlah orang-orang yang dia ceritakan, tapi mereka itu orang-orang yang datang dari daerah timur. (Ma ja’a fil bida’ libni wadldloh, hal:54, Mushonnaf ibnu Abi Syaibah 8/558. Syeikh Muhammad bin Abdurrohman Alu Khomis mengatakan: Sanad atsar ini hasan)

2. Atsar dari Abdulloh bin Mas’ud saat mengingkari sekelompok orang yang berkumpul di Masjid Nabawi, untuk dzikir bersama, dengan dikomando satu orang.

Jawaban:

1. Kami tidak sepakat, jika dikatakan ada pertentangan antara atsar dari salaf yang mengingkari praktek dzikir jama’i, dengan nash-nash syariat yang lebih kuat yang menganjurkan dzikir. Karena kedua dalil tersebut mempunyai tempat sendiri-sendiri, (nash-nash syariat yang lebih kuat itu menerangkan tentang anjuran untuk berdzikir, sedang atsar dari salaf itu menerangkan tentang larangan untuk mengadakan bid’ah dzikir jama’i). Sungguh tidak mungkin ada pertentangan antara dalil-dalil itu, jika keduanya diterapkan pada tempatnya masing-masing.

2. Dalam kaidah ushul fikih dikatakan bahwa “Nash-nash yang lebih khusus dalam menerangkan sesuatu, harus didahulukan atas nash-nash yang lebih umum”… Dalam masalah ini, nash tentang anjuran untuk berdzikir itu lebih umum, sedang nash yang melarang dzikir jama’i itu lebih khusus… Maka harusnya kita dahulukan nash yang lebih khusus itu dalam memahami masalah ini, sehingga tidak ada pertentangan antara dalil-dalil yang ada… Sehingga kesimpulannya menjadi seperti ini: “Semua dzikir itu dianjurkan sebagaimana diterangkan dalam nash-nash syariat, tapi tidak boleh dilakukan secara jama’i sebagaimana diterangkan dalam atsar-atsar dari salaf, kecuali ada dalil yang lebih khusus yang membolehkannya”… Wallohu a’lam

3. Pernyataan bahwa, “Ada pertentangan antara atsar dari salaf dengan nash-nash yang lebih kuat”, adalah sebuah dakwaan, dan sebagaimana kita tahu, sebuah dakwaan harus berdasarkan bukti dan fakta ri’il…

Pertanyaannya:

  1. “Manakah bukti adanya pertentangan itu?!”…
  2. “Benarkah kedua dalil itu bertentangan?!”… “Ataukah kita hanya salah dalam memahami saja”…
  3. Mana yang lebih pantas kita katakan: “Para salaf itu telah menyelisihi petunjuk syariat, ketika mereka mengingkari dzikir jama’i”, atau: “Kita salah, dalam memahami nash-nash syariat, ketika membolehkan dzikir jama’i?!”… Jelasnya: “Patutkah kita su’uzhon kepada para generasi salaf yang telah mengingkari dzikir jama’i, tapi di lain sisi kita husnuzhon dengan pemahaman kita?!”.

Dalil-Dalil Yang Melarang Dzikir Jama’i, Diantaranya:

1. Dzikir jama’i tidak pernah diperintahkan, tidak pernah dianjurkan, dan tidak pernah dituntunkan oleh Nabi -shollallohu alaihi wasallam-. Jika ada yang mengatakan dzikir jama’i itu ada contohnya dari beliau, mari kita tanya diri kita masing-masing: “Pernahkah beliau Yasinan?!”… “Pernahkah beliau Tahlilan?!”… “Pernahkah beliau Nariyahan?!”… “Pernahkah satu saja dari para sahabat beliau -yang jumlahnya mencapai ratusan ribu itu- melakukan hal tersebut?!”, dst…

Jika beliau -shollallohu alaihi wasallam- dan para sahabatnya tidak pernah mencontohkannya, lalu dari mana mereka mengambil cara-cara itu?!.. Siapakah yang menciptakan model dan susunan ibadah seperti itu?!.. Ataukah kita juga berhak menciptakan model ibadah sendiri, sesuai selera kita?!.. Kalau kita tidak boleh, mengapa ada yang boleh menciptakan model ibadah baru seperti itu?!.. Lalu siapa yang memberi license (surat ijin) kepada mereka untuk menciptakan model ibadah baru itu?!.. Apakah mereka lebih tahu tentang agama ini, melebihi para sahabat?!… Cobalah kita renungi masalah ini, dengan obyektif, jujur, dan apa adanya…

2. Seluruh nash yang melarang bid’ah, yang jumlahnya sangat banyak sekali. Diantaranya: Sabda Rosul -shollallohu alaihi wasallam- “Barangsiapa membuat dalam agama ini, hal baru yang bukan darinya, maka amalannya itu tertolak”.

3. Pendapat yang mengatakan sunatnya dzikir jama’i, secara tidak langsung telah mencela Nabi -shollallohu alaihi wasallam-. Seakan-akan ia mengatakan bahwa beliau kurang amanah dan belum menyampaikan semua syariat islam. Buktinya syariat dzikir jama’i belum disampaikan kepada umatnya… Pantaskah kita beranggapan seperti ini?!

4. Orang yang mengatakan dzikir jamai itu disyariatkan, secara tidak langsung mengatakan bahwa syariat yang dibawa Nabi -shollallohu alaihi wasallam- belumlah lengkap. Karena belum adanya syariat dzikir jamai ketika beliau masih hidup, kemudian syariat itu datang setelah wafatnya beliau. Seakan-akan mereka mengatakan bahwa ajaran Muhammad -shollallohu alaihi wasallam- itu kurang relevan lagi, sehingga perlu diadakan terobosan dan cara baru dalam praktek beribadah.

5. Orang yang mengatakan dzikir jama’i itu dianjurkan, secara tidak langsung merendahkan martabat para sahabat, karena mereka tidak pernah melakukan dzikir jamai ini. Yakni secara tidak langsung mereka mengatakan bahwa para sahabat tidak melakukan apa yang menjadi anjuran Rosululloh -shollallohu alaihi wasallam-.

Sungguh ini anggapan yang sangat keliru, karena pada hal-hal yang mubah saja, banyak dari para sahabat yang meniru beliau, apalagi pada hal-hal yang dianjurkan oleh beliau, tentunya mereka akan bersegera dan sering melakukannya.

6. Jika mereka mengatakan bahwa dzikir jama’i itu sesuai dengan islam, meski tidak ada tuntunannya dari Rosul -shollallohu alaihi wasallam-, lalu adakah praktek ibadah yang sesuai dengan Islam tidak pernah dituntunkan oleh Rosululloh -shollallohu alaihi wasallam-?!.. Kalau cara dan adab buang hajat saja diterangkan oleh beliau, bagaimana beliau tidak menerangkan cara dzikir jama’i ini?!.. Sungguh, ini menunjukkan bahwa dzikir jama’i bukanlah sesuatu yang dituntunkan oleh Islam… wallohul musta’an…

7. Apa jadinya jika tukang bakso, disuruh meracik obat untuk pasien penderita kanker?!.. Apa jadinya jika ahli reparasi HP, ditugasi memperbaiki mobil?!.. Apa jadinya jika dokter gigi, ditugasi meracik bumbu gule?!.. Apa jadinya jika tukang ngebor sumur, ditugasi menyuntik pasien?!.. Apa Jadinya jika peracik pupuk kandang, ditugasi meracik suplemen vitamin?!.. Begitulah gambaran sekilas tentang seorang umat Muhammad yang sembrono meracik dan mendesain amalan ibadah, hingga menurutnya akan memperindah islam. Jelas semuanya akan amburadul… karena tugas yang diserahkan bukan kepada ahlinya…

Ingatlah penyariatan amal ibadah dan cara melaksanakannya adalah hak mutlak Alloh dan Rosul-Nya… Itulah konsekuensi TAUHID dalam kehidupan seorang muslim… Itulah konsekuensi persaksian kita bahwa Alloh adalah satu-satunya Tuhan yang kita sembah… Itulah konsekuensi persaksian kita bahwa Nabi Muhammad -shollallohu alaihi wasallam- adalah utusan Alloh kepada umatnya… Oleh karena itu, kita tidak boleh membuat ibadah baru ataupun caranya, selama tidak ada tuntunannya dari Alloh dan Rosul-Nya…

8. Banyak nash yang menunjukkan, pada dasarnya dzikir itu dilakukan dengan lirih, sebagaimana difirmankan oleh Alloh ta’ala: “Berdzikirlah dalam dirimu dengan rendah hati, rasa takut, dan tidak mengeraskan suara” (al-A’rof: 205). Dalam ayat lain difirmankan: “Berdoalah kepada Tuhanmu dengan penuh khusu’ dan lirih, sesungguhnya Alloh tidak menyukai orang yang melampaui batas” (al-A’rof: 55), dan nash-nash yang lainnya… Sungguh nash-nash ini sangat berseberangan dengan praktek dzikir jama’i.

9. Bila dzikir jamai itu dianjurkan oleh syariat sebagaimana anggapan mereka, maka kita patut bertanya: Apakah Beliau tahu bahwa dzikir jamai itu dianjurkan?

Jika jawaban mereka “Ya“, maka kita patut mengajak mereka istighfar dan taubat… Mengapa?! Karena dengan jawaban itu, berarti mereka mengatakan bahwa beliau tidak menyampaikan apa yang diketahuinya sebagai suatu ibadah! Padahal Alloh telah mengamanatkan kepada beliau untuk menyampaikan seluruh syariat yang diembannya.

Jika jawaban mereka “Tidak“, kita juga patut mengajak istighfar dan taubat kepada mereka… Mengapa?! Karena dengan jawaban itu, berarti mereka mengatakan bahwa Beliau tidak tahu sebagian ibadah yang diketahui oleh umatnya… Sungguh, cobalah kita berfikir dengan jernih dan obyektif, bagaimana mungkin beliau tidak tahu suatu ibadah, sedang umatnya tahu?! Bukankah semua ibadah itu sumbernya dari beliau?!

Jika dua kemungkinan jawaban itu salah, berarti pernyataan sebelumnya juga salah… Yang benar adalah bahwa dzikir jamai itu bid’ah dan bukan termasuk Ajaran Islam.

10. Dzikir jamai adalah amalan yang mungkin dilakukan pada masa Nabi -shollallohu alaihi wasallam-, dan dorongan untuk mengadakannya pun sudah ada sejak masa itu… Bukankah Nabi dan para sahabatnya sering berkumpul bersama?!.. Bukankah banyak juga dari mereka yang tersibukkan dengan dunia, sehingga butuh adanya dzikir jama’i, sehingga bisa meningkatkan volume ibadah mereka?!.. Meski demikian, Nabi tidak pernah sekalipun mengajak para sahabatnya untuk dzikir jama’i…

Jika demikian adanya, itu menunjukkan bahwa praktek dzikir jamai bukanlah hal yang disyariatkan. Karena jika hal itu disyariatkan tentulah beliau telah memperaktekkanya, meski hanya sekali.

Ada baiknya, di penghujung pembahasan ini, kita melihat perkataan para Ulama Islam ternama, semoga ucapan-ucapan mereka memberikan manfaat bagi kita semua, amin…:

Imam Abu Hanifah mengatakan: “Sesungguhnya mengangkat suara ketika membaca takbir, pada asalnya adalah bid’ah, karena ia termasuk dzikir. Sunnahnya dalam berdzikir adalah dengan melirihkan suara, sebagaimana firman-Nya: “berdoalah dengan rendah hati dan melirihkan suara!” (Al-A’rof: 55)… oleh karenanya (doa yang demikian) itu lebih dekat kepada kerendahan hati, lebih sopan, dan lebih jauh dari riya’. Maka hukum asal ini tidak boleh ditinggalkan, kecuali bila ada dalil yang mengecualikannya. (Bada’iush Shona’i’ fi Tartibisy Syaro’i’ 1/196)

Dalam kitab Addurruts Tsamin wal Mauridul Mu’in (hal. 173, 212) dikatakan: “Imam malik dan sekelompok ulama, membenci doa yang dilakukan para imam masjid dan para jamaah setelah sholat fardhu, dengan cara mengeraskan suaranya hingga didengar oleh orang banyak”.

Imam Syafii mengatakan: “Saya memilih (pendapat) untuk imam dan ma’mum, agar mereka membaca dzikir setelah (jama’ah) sholat (wajib) dengan melirihkan suara, kecuali imam yang ingin agar para ma’mumnya bisa belajar darinya, maka boleh baginya mengeraskan suaranya hingga ia melihat para ma’mum telah belajar darinya, lalu ia melirihkan kembali suaranya. Demikian itu, karena Alloh berfirman: “Jangan kamu mengeraskan suara dalam sholatmu, jangan pula (terlalu) melirihkannya” (al-Isro’), maksudnya -wallohu a’lam- adalah dalam hal doa, jangan (terlalu) mengangkat suara, dan jangan (terlalu) melirihkannya hingga dirimu sendiri tidak mendengarnya”. (al-Um 1/11)

Imam nawawi mengatakan: “Adapun apa yang biasa dilakukan oleh orang-orang, dengan mengkhususkan untuk imam, agar berdoa setelah selesai sholat Shubuh dan Ashar, maka hal ini tidak ada dasarnya sama sekali”. (Al-Majmu’ 3/469)

Imam Nawawi juga mengatakan: “Disunnahkan dzikir dan doa setiap selesai sholat dan melirihkannya. Jika ia seorang imam dan ingin mengajari para ma’mumnya, ia boleh mengeraskan suaranya, lalu kembali melirihkan suaranya, jika mereka sudah bisa (melakukannya sendiri). (at-Tahqiq lin Nawawi, hal:219, Miskul Khitam, hal 137-141)

Ibnu Taimiyah mengatakan: “Adapun doa yang dilakukan Imam bersama-sama dengan makmum setelah sholat, maka hal ini tidak ada seorang pun yang meriwayatkannya dari Nabi -shollallohu alaihi wasallam-“. (Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyah 22/515)

Ibnul Haj mengatakan: “Sebaiknya orang yang dzikir bersama di masjid sebelum dan sesudah sholat (wajib), atau di waktu lainnya, itu dilarang. Karena hal itu merupakan sesuatu yang mengganggu”. (Ishlahul Masajid, hal. 111)

Az-Zarkasyi mengatakan: “Semua dzikir itu sunnahnya dilakukan dengan melirihkan suara kecuali talbiyah“. (Ishlahul Masajid, hal. 111)

al-Mubarokfuri mengatakan: “Ketahuilah, bahwa para pengikut madzhab hanafi di era ini, merutinkan doa dengan mengangkat tangan tiap selesai sholat fardhu seperti rutinnya mereka melakukan amalan wajib, seakan-akan mereka menganggap amalan itu suatu kewajiban, karena itulah mereka mengingkari orang yang salam dari sholat fardhu, lalu membaca wirid Allohumma antas salam, wa minkas salam, tabarokta yaa dzal jalaali wal ikroom kemudian pergi tanpa berdoa dengan mengangkat tangannya. Tindakan mereka ini, menyelisihi perkataan Imam mereka, yakni Imam Abu Hanifah, begitu pula menyelisihi apa yang ada dalam kitab-kitab yang dijadikan sandaran oleh mereka. (Tuhfatul Ahwadzi 1/246)

Sekian, pembahasan masalah dzikir jama’i ini… Penulis yakin, masih banyak syubhat-syubhat lain yang belum penulis bahas… Tapi paling tidak, apa yang kami sebutkan di atas sudah mewakili syubhat-syubhat utama dalam masalah ini… Jika ada yang kurang jelas, silahkan antum kirim pertanyaan lewat kolom komentar, insyaAlloh akan kami jawab semampunya…

Semoga artikel sederhana ini, bisa memberikan manfaat, bagi penulis khususnya, dan bagi kaum muslimin pada umumnya…

Wa shollohu wa sallama wa baaroka ala nabiyyina wa sayyidina Muhammadin, wa alaa aalihi wa shohbihi wa man tabi’ahum bi ihsaanin ila yaumiddin… walhamdulillahi robbil aalamiin…

Wasubhanakallohumma wabihamdika asyhadu al laa ilaaha illaa anta, astaghfiruka wa atubu ilaik…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tafaddhol,, tinggalkan komentar...