Selasa, 16 November 2010

Mengkritisi DZIKIR JAMA’I (Dzikir Bersama) Part-3

Bismillah wal hamdulillah, akhirnya Alloh memudahkan kami untuk meneruskan artikel ini…

Dalil keenam:

Bahwa amal dzikir jama’i telah diperaktekkan oleh mayoritas muslimin, dan mayoritas itulah yang dimaksud dengan al-Jama’ah, padahal kita tahu Nabi -shollallohu alaihi wasallam- telah mewasiatkan kita agar selalu bersama al-Jama’ah dalam banyak hadits.

Jawaban:

1. Sungguh ini merupakan dalil yang sangat lemah, karena salahnya penafsiran kata “al-Jama’ah”. Penafsiran yang tepat adalah sebagaimana dikemukakan oleh para imam berikut ini:

a. Sahabat Ali bin Abi Tholib: Demi Alloh (yang dimaksud dengan) sunnah adalah sunnahnya Muhammad -shollallohu alaihi wasallam-, sedang bid’ah adalah apapun yang menyelisihi sunnah. Dan demi Alloh, yang dimaksud dengan al-Jama’ah adalah bersama dengan ahlul haq meski jumlah mereka sedikit, sedang al-Furqoh adalah bersama dengan ahlul batil meski jumlah mereka banyak. (lihat Kanzul Ummal 1/378)

b. Sahabat Ibnu Mas’ud RhadiAllahuanhu: “Al-Jama’ah adalah apa yang sesuai dengan kebenaran meski kau seorang diri”… dalam riwayat lain redaksinya: “Sesungguhnya al-Jama’ah adalah apa yang sesuai dengan ketaatan kepada Alloh” (Tahdzibul Kamal 22/264-265)

c. Nu’aim bin Hammad RhadiAllahuanhu : Jika al-Jama’ah itu rusak, maka tetaplah kamu menjalani apa yang dilakukan oleh al-Jama’ah sebelum mereka rusak, meski kamu hanya seorang diri. Karena sesungguhnya kamu di saat seperti itu tetap disebut al-Jama’ah (meski hanya seorang diri). (Tahdzibul Kamal 22/265)

d. Abu Syamah asy-Syafi’i : Setiap ada perintah untuk tetap bersama al-Jama’ah, maka maksudnya adalah: (perintah untuk) menetapi kebenaran dan mengikutinya, meski orang yang berpegang-teguh dengannya itu sedikit dan yang menyelisihinya banyak. Karena kebenaran itu adanya pada al-Jama’ah yang pertama, pada masa Nabi dan para sahabatnya, dan tidak perlu peduli dengan banyaknya ahli bid’ah setelah mereka. (al-Ba’its li Abi Syamah, hal:19)

e. Ibnul Qoyyim : Mereka telah menjadikan yang sunnah itu bid’ah, dan menjadikan yang ma’ruf itu munkar, karena saking sedikitnya orang yang membelanya di banyak kurun waktu dan tempat. Mereka lalu berdalih dengan hadits “Barangsiapa yang “syadz” (menyendiri), niscaya nanti akan menyendiri di neraka”. Orang-orang yang menyelisihi (kami) itu tidak tahu bahwa yang dimaksud dengan “syadz” dalam hadits itu adalah apapun yang menyelisihi kebenaran, meski semua manusia menjalaninya kecuali satu orang, maka merekalah yang disebut “syadz” (orang yang menyendiri). (I’lamul Muwaqqi’in 3/397)

Dari nukilan-nukilan di atas kita bisa mengambil kesimpulan bahwa maksudnya “al-Jama’ah” adalah golongan yang berada di jalan yang haq, yakni golongan yang mendasari semua amalannya dengan Alqur’an dan Sunnah dengan pemahaman para salaful ummah, meski mereka adalah kelompok minoritas.


2. Mayoritas itu tidak selalu benar, Alloh berfirman:

وإن تطع أكثر من في الأرض يضلوك عن سبيل الله

Jika kamu mengikuti kebanyakan orang di bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Alloh. (al-An’am:116)

وقليل من عبادي الشكور

Dan sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku yang banyak bersyukur. (Saba’: 13)

الزم طرق الهدى، ولا يضرك قلة السالكين، وإياك وطرق الضلالة، ولا تغتر بكثرة الهالكين

Al-Fudloil bin Iyadl mengatakan: “Tetapilah jalan-jalan petunjuk, jangan pedulikan sedikitnya orang yang melaluinya! Dan jauhilah jalan-jalan kesesatan, jangan terkecoh dengan banyaknya orang yang rusak!”.

3. Jika memang apa yang mereka katakan benar, apakah mereka akan mengatakan bahwa kekafiran itu benar, karena penduduk bumi ini mayoritas kafir?!.. Apakah mendengarkan musik sekarang menjadi halal, karena jarangnya orang yang selamat dari hal itu?!.. Apakah pacaran menjadi halal karena mayoritas pemuda-pemudi muslim melakukannya?!.. Apakah merokok yang membahayakan manusia, itu menjadi halal karena kebanyakan orang melakukannya?!.. Sungguh kebenaran bukanlah dilihat dari jumlah yang banyak, tapi timbangan kebenaran adalah Alquran dan Sunnah sesuai pemahaman para salafus sholih (generasi terbaik umat ini).

Abu Abdillah bin Ishaq al-Ja’fari mengatakan: “Dahulu Abdulloh (bin hasan bin Ali bin Abi tholib) sering duduk bersama Robi’ah, suatu hari mereka berdiskusi. Lalu ada seseorang menyela: “Tapi yang diamalkan orang-orang tidak seperti ini”. Abdulloh pun menjawab: “Apabila telah banyak orang yang jahil (dalam agama), hingga mereka menjadi para penguasa, apakah mereka menjadi hujjah hingga mengalahkan sunnah?!” maka Robi’ah menimpali: “Aku bersaksi, sungguh ini perkataan cucu para nabi!”. (al-I’tishom 1/460, al-Baits li Abi Syamah, hal:7)

Dari kisah ini kita dapat menarik kesimpulan, bahwa banyaknya para jahilin dan ahli bid’ah, meski memiliki kekuasaan dan pengaruh yang kuat, bukanlah hujjah yang bisa mengalahkan sunnah. Sungguh tidak boleh syariat Alloh dan Rosulnya dikalahkan oleh perbuatan manusia, siapa pun orangnya.

Dalil ketujuh:

Atsar dari salaf yang mengingkari dzikir jama’i bertentangan dengan nash-nash yang lebih kuat, dan sesuai kaidah ushuliyah: dalil yang lebih kuat harus kita dahulukan.

Penjelasan: Atsar dari salaf yang mereka maksud, diantaranya adalah:

1. Atsar dari Umar bin Khottob $.

Sebuah riwayat mengatakan: Suatu ketika seorang pegawainya Umar bin Khottob menulis surat kepada beliau, bahwa di daerahnya ada sekelompok orang yang berkumpul bersama, untuk mendoakan kaum muslimin dan para pemimpinnya. Maka umar pun menjawab suratnya, dan memerintahkan agar dia dan mereka menghadap kepadanya. Ketika dia datang, Umar mengatakan kepada penjaga pintunya: “Siapkan cambuk untukku!”. Lalu ketika mereka masuk, Umar langsung memukul pimpinan mereka dengan cambuknya. Maka pimpinan itu mengatakan: “Wahai Amirul Mukminin, sungguh kami bukanlah orang-orang yang dia ceritakan, tapi mereka itu orang-orang yang datang dari daerah timur. (Ma ja’a fil bida’ libni wadldloh, hal:54, Mushonnaf ibnu Abi Syaibah 8/558. Syeikh Muhammad bin Abdurrohman Alu Khomis mengatakan: Sanad atsar ini hasan)

2. Atsar dari Abdulloh bin Mas’ud saat mengingkari sekelompok orang yang berkumpul di Masjid Nabawi, untuk dzikir bersama, dengan dikomando satu orang.

Jawaban:

1. Kami tidak sepakat, jika dikatakan ada pertentangan antara atsar dari salaf yang mengingkari praktek dzikir jama’i, dengan nash-nash syariat yang lebih kuat yang menganjurkan dzikir. Karena kedua dalil tersebut mempunyai tempat sendiri-sendiri, (nash-nash syariat yang lebih kuat itu menerangkan tentang anjuran untuk berdzikir, sedang atsar dari salaf itu menerangkan tentang larangan untuk mengadakan bid’ah dzikir jama’i). Sungguh tidak mungkin ada pertentangan antara dalil-dalil itu, jika keduanya diterapkan pada tempatnya masing-masing.

2. Dalam kaidah ushul fikih dikatakan bahwa “Nash-nash yang lebih khusus dalam menerangkan sesuatu, harus didahulukan atas nash-nash yang lebih umum”… Dalam masalah ini, nash tentang anjuran untuk berdzikir itu lebih umum, sedang nash yang melarang dzikir jama’i itu lebih khusus… Maka harusnya kita dahulukan nash yang lebih khusus itu dalam memahami masalah ini, sehingga tidak ada pertentangan antara dalil-dalil yang ada… Sehingga kesimpulannya menjadi seperti ini: “Semua dzikir itu dianjurkan sebagaimana diterangkan dalam nash-nash syariat, tapi tidak boleh dilakukan secara jama’i sebagaimana diterangkan dalam atsar-atsar dari salaf, kecuali ada dalil yang lebih khusus yang membolehkannya”… Wallohu a’lam

3. Pernyataan bahwa, “Ada pertentangan antara atsar dari salaf dengan nash-nash yang lebih kuat”, adalah sebuah dakwaan, dan sebagaimana kita tahu, sebuah dakwaan harus berdasarkan bukti dan fakta ri’il…

Pertanyaannya:

  1. “Manakah bukti adanya pertentangan itu?!”…
  2. “Benarkah kedua dalil itu bertentangan?!”… “Ataukah kita hanya salah dalam memahami saja”…
  3. Mana yang lebih pantas kita katakan: “Para salaf itu telah menyelisihi petunjuk syariat, ketika mereka mengingkari dzikir jama’i”, atau: “Kita salah, dalam memahami nash-nash syariat, ketika membolehkan dzikir jama’i?!”… Jelasnya: “Patutkah kita su’uzhon kepada para generasi salaf yang telah mengingkari dzikir jama’i, tapi di lain sisi kita husnuzhon dengan pemahaman kita?!”.

Dalil-Dalil Yang Melarang Dzikir Jama’i, Diantaranya:

1. Dzikir jama’i tidak pernah diperintahkan, tidak pernah dianjurkan, dan tidak pernah dituntunkan oleh Nabi -shollallohu alaihi wasallam-. Jika ada yang mengatakan dzikir jama’i itu ada contohnya dari beliau, mari kita tanya diri kita masing-masing: “Pernahkah beliau Yasinan?!”… “Pernahkah beliau Tahlilan?!”… “Pernahkah beliau Nariyahan?!”… “Pernahkah satu saja dari para sahabat beliau -yang jumlahnya mencapai ratusan ribu itu- melakukan hal tersebut?!”, dst…

Jika beliau -shollallohu alaihi wasallam- dan para sahabatnya tidak pernah mencontohkannya, lalu dari mana mereka mengambil cara-cara itu?!.. Siapakah yang menciptakan model dan susunan ibadah seperti itu?!.. Ataukah kita juga berhak menciptakan model ibadah sendiri, sesuai selera kita?!.. Kalau kita tidak boleh, mengapa ada yang boleh menciptakan model ibadah baru seperti itu?!.. Lalu siapa yang memberi license (surat ijin) kepada mereka untuk menciptakan model ibadah baru itu?!.. Apakah mereka lebih tahu tentang agama ini, melebihi para sahabat?!… Cobalah kita renungi masalah ini, dengan obyektif, jujur, dan apa adanya…

2. Seluruh nash yang melarang bid’ah, yang jumlahnya sangat banyak sekali. Diantaranya: Sabda Rosul -shollallohu alaihi wasallam- “Barangsiapa membuat dalam agama ini, hal baru yang bukan darinya, maka amalannya itu tertolak”.

3. Pendapat yang mengatakan sunatnya dzikir jama’i, secara tidak langsung telah mencela Nabi -shollallohu alaihi wasallam-. Seakan-akan ia mengatakan bahwa beliau kurang amanah dan belum menyampaikan semua syariat islam. Buktinya syariat dzikir jama’i belum disampaikan kepada umatnya… Pantaskah kita beranggapan seperti ini?!

4. Orang yang mengatakan dzikir jamai itu disyariatkan, secara tidak langsung mengatakan bahwa syariat yang dibawa Nabi -shollallohu alaihi wasallam- belumlah lengkap. Karena belum adanya syariat dzikir jamai ketika beliau masih hidup, kemudian syariat itu datang setelah wafatnya beliau. Seakan-akan mereka mengatakan bahwa ajaran Muhammad -shollallohu alaihi wasallam- itu kurang relevan lagi, sehingga perlu diadakan terobosan dan cara baru dalam praktek beribadah.

5. Orang yang mengatakan dzikir jama’i itu dianjurkan, secara tidak langsung merendahkan martabat para sahabat, karena mereka tidak pernah melakukan dzikir jamai ini. Yakni secara tidak langsung mereka mengatakan bahwa para sahabat tidak melakukan apa yang menjadi anjuran Rosululloh -shollallohu alaihi wasallam-.

Sungguh ini anggapan yang sangat keliru, karena pada hal-hal yang mubah saja, banyak dari para sahabat yang meniru beliau, apalagi pada hal-hal yang dianjurkan oleh beliau, tentunya mereka akan bersegera dan sering melakukannya.

6. Jika mereka mengatakan bahwa dzikir jama’i itu sesuai dengan islam, meski tidak ada tuntunannya dari Rosul -shollallohu alaihi wasallam-, lalu adakah praktek ibadah yang sesuai dengan Islam tidak pernah dituntunkan oleh Rosululloh -shollallohu alaihi wasallam-?!.. Kalau cara dan adab buang hajat saja diterangkan oleh beliau, bagaimana beliau tidak menerangkan cara dzikir jama’i ini?!.. Sungguh, ini menunjukkan bahwa dzikir jama’i bukanlah sesuatu yang dituntunkan oleh Islam… wallohul musta’an…

7. Apa jadinya jika tukang bakso, disuruh meracik obat untuk pasien penderita kanker?!.. Apa jadinya jika ahli reparasi HP, ditugasi memperbaiki mobil?!.. Apa jadinya jika dokter gigi, ditugasi meracik bumbu gule?!.. Apa jadinya jika tukang ngebor sumur, ditugasi menyuntik pasien?!.. Apa Jadinya jika peracik pupuk kandang, ditugasi meracik suplemen vitamin?!.. Begitulah gambaran sekilas tentang seorang umat Muhammad yang sembrono meracik dan mendesain amalan ibadah, hingga menurutnya akan memperindah islam. Jelas semuanya akan amburadul… karena tugas yang diserahkan bukan kepada ahlinya…

Ingatlah penyariatan amal ibadah dan cara melaksanakannya adalah hak mutlak Alloh dan Rosul-Nya… Itulah konsekuensi TAUHID dalam kehidupan seorang muslim… Itulah konsekuensi persaksian kita bahwa Alloh adalah satu-satunya Tuhan yang kita sembah… Itulah konsekuensi persaksian kita bahwa Nabi Muhammad -shollallohu alaihi wasallam- adalah utusan Alloh kepada umatnya… Oleh karena itu, kita tidak boleh membuat ibadah baru ataupun caranya, selama tidak ada tuntunannya dari Alloh dan Rosul-Nya…

8. Banyak nash yang menunjukkan, pada dasarnya dzikir itu dilakukan dengan lirih, sebagaimana difirmankan oleh Alloh ta’ala: “Berdzikirlah dalam dirimu dengan rendah hati, rasa takut, dan tidak mengeraskan suara” (al-A’rof: 205). Dalam ayat lain difirmankan: “Berdoalah kepada Tuhanmu dengan penuh khusu’ dan lirih, sesungguhnya Alloh tidak menyukai orang yang melampaui batas” (al-A’rof: 55), dan nash-nash yang lainnya… Sungguh nash-nash ini sangat berseberangan dengan praktek dzikir jama’i.

9. Bila dzikir jamai itu dianjurkan oleh syariat sebagaimana anggapan mereka, maka kita patut bertanya: Apakah Beliau tahu bahwa dzikir jamai itu dianjurkan?

Jika jawaban mereka “Ya“, maka kita patut mengajak mereka istighfar dan taubat… Mengapa?! Karena dengan jawaban itu, berarti mereka mengatakan bahwa beliau tidak menyampaikan apa yang diketahuinya sebagai suatu ibadah! Padahal Alloh telah mengamanatkan kepada beliau untuk menyampaikan seluruh syariat yang diembannya.

Jika jawaban mereka “Tidak“, kita juga patut mengajak istighfar dan taubat kepada mereka… Mengapa?! Karena dengan jawaban itu, berarti mereka mengatakan bahwa Beliau tidak tahu sebagian ibadah yang diketahui oleh umatnya… Sungguh, cobalah kita berfikir dengan jernih dan obyektif, bagaimana mungkin beliau tidak tahu suatu ibadah, sedang umatnya tahu?! Bukankah semua ibadah itu sumbernya dari beliau?!

Jika dua kemungkinan jawaban itu salah, berarti pernyataan sebelumnya juga salah… Yang benar adalah bahwa dzikir jamai itu bid’ah dan bukan termasuk Ajaran Islam.

10. Dzikir jamai adalah amalan yang mungkin dilakukan pada masa Nabi -shollallohu alaihi wasallam-, dan dorongan untuk mengadakannya pun sudah ada sejak masa itu… Bukankah Nabi dan para sahabatnya sering berkumpul bersama?!.. Bukankah banyak juga dari mereka yang tersibukkan dengan dunia, sehingga butuh adanya dzikir jama’i, sehingga bisa meningkatkan volume ibadah mereka?!.. Meski demikian, Nabi tidak pernah sekalipun mengajak para sahabatnya untuk dzikir jama’i…

Jika demikian adanya, itu menunjukkan bahwa praktek dzikir jamai bukanlah hal yang disyariatkan. Karena jika hal itu disyariatkan tentulah beliau telah memperaktekkanya, meski hanya sekali.

Ada baiknya, di penghujung pembahasan ini, kita melihat perkataan para Ulama Islam ternama, semoga ucapan-ucapan mereka memberikan manfaat bagi kita semua, amin…:

Imam Abu Hanifah mengatakan: “Sesungguhnya mengangkat suara ketika membaca takbir, pada asalnya adalah bid’ah, karena ia termasuk dzikir. Sunnahnya dalam berdzikir adalah dengan melirihkan suara, sebagaimana firman-Nya: “berdoalah dengan rendah hati dan melirihkan suara!” (Al-A’rof: 55)… oleh karenanya (doa yang demikian) itu lebih dekat kepada kerendahan hati, lebih sopan, dan lebih jauh dari riya’. Maka hukum asal ini tidak boleh ditinggalkan, kecuali bila ada dalil yang mengecualikannya. (Bada’iush Shona’i’ fi Tartibisy Syaro’i’ 1/196)

Dalam kitab Addurruts Tsamin wal Mauridul Mu’in (hal. 173, 212) dikatakan: “Imam malik dan sekelompok ulama, membenci doa yang dilakukan para imam masjid dan para jamaah setelah sholat fardhu, dengan cara mengeraskan suaranya hingga didengar oleh orang banyak”.

Imam Syafii mengatakan: “Saya memilih (pendapat) untuk imam dan ma’mum, agar mereka membaca dzikir setelah (jama’ah) sholat (wajib) dengan melirihkan suara, kecuali imam yang ingin agar para ma’mumnya bisa belajar darinya, maka boleh baginya mengeraskan suaranya hingga ia melihat para ma’mum telah belajar darinya, lalu ia melirihkan kembali suaranya. Demikian itu, karena Alloh berfirman: “Jangan kamu mengeraskan suara dalam sholatmu, jangan pula (terlalu) melirihkannya” (al-Isro’), maksudnya -wallohu a’lam- adalah dalam hal doa, jangan (terlalu) mengangkat suara, dan jangan (terlalu) melirihkannya hingga dirimu sendiri tidak mendengarnya”. (al-Um 1/11)

Imam nawawi mengatakan: “Adapun apa yang biasa dilakukan oleh orang-orang, dengan mengkhususkan untuk imam, agar berdoa setelah selesai sholat Shubuh dan Ashar, maka hal ini tidak ada dasarnya sama sekali”. (Al-Majmu’ 3/469)

Imam Nawawi juga mengatakan: “Disunnahkan dzikir dan doa setiap selesai sholat dan melirihkannya. Jika ia seorang imam dan ingin mengajari para ma’mumnya, ia boleh mengeraskan suaranya, lalu kembali melirihkan suaranya, jika mereka sudah bisa (melakukannya sendiri). (at-Tahqiq lin Nawawi, hal:219, Miskul Khitam, hal 137-141)

Ibnu Taimiyah mengatakan: “Adapun doa yang dilakukan Imam bersama-sama dengan makmum setelah sholat, maka hal ini tidak ada seorang pun yang meriwayatkannya dari Nabi -shollallohu alaihi wasallam-“. (Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyah 22/515)

Ibnul Haj mengatakan: “Sebaiknya orang yang dzikir bersama di masjid sebelum dan sesudah sholat (wajib), atau di waktu lainnya, itu dilarang. Karena hal itu merupakan sesuatu yang mengganggu”. (Ishlahul Masajid, hal. 111)

Az-Zarkasyi mengatakan: “Semua dzikir itu sunnahnya dilakukan dengan melirihkan suara kecuali talbiyah“. (Ishlahul Masajid, hal. 111)

al-Mubarokfuri mengatakan: “Ketahuilah, bahwa para pengikut madzhab hanafi di era ini, merutinkan doa dengan mengangkat tangan tiap selesai sholat fardhu seperti rutinnya mereka melakukan amalan wajib, seakan-akan mereka menganggap amalan itu suatu kewajiban, karena itulah mereka mengingkari orang yang salam dari sholat fardhu, lalu membaca wirid Allohumma antas salam, wa minkas salam, tabarokta yaa dzal jalaali wal ikroom kemudian pergi tanpa berdoa dengan mengangkat tangannya. Tindakan mereka ini, menyelisihi perkataan Imam mereka, yakni Imam Abu Hanifah, begitu pula menyelisihi apa yang ada dalam kitab-kitab yang dijadikan sandaran oleh mereka. (Tuhfatul Ahwadzi 1/246)

Sekian, pembahasan masalah dzikir jama’i ini… Penulis yakin, masih banyak syubhat-syubhat lain yang belum penulis bahas… Tapi paling tidak, apa yang kami sebutkan di atas sudah mewakili syubhat-syubhat utama dalam masalah ini… Jika ada yang kurang jelas, silahkan antum kirim pertanyaan lewat kolom komentar, insyaAlloh akan kami jawab semampunya…

Semoga artikel sederhana ini, bisa memberikan manfaat, bagi penulis khususnya, dan bagi kaum muslimin pada umumnya…

Wa shollohu wa sallama wa baaroka ala nabiyyina wa sayyidina Muhammadin, wa alaa aalihi wa shohbihi wa man tabi’ahum bi ihsaanin ila yaumiddin… walhamdulillahi robbil aalamiin…

Wasubhanakallohumma wabihamdika asyhadu al laa ilaaha illaa anta, astaghfiruka wa atubu ilaik…

Mengkritisi DZIKIR JAMA’I (Dzikir Bersama) Part-2

Bismillah… alhamdulillah… was-sholatu wassalamu ala sayyidina, wa maulana, wa qurrotu a’yunina Muhammadibni abdillah… wa ala alihi wa shohbihi wa man tabi’ahum bi ihsan ila yaumil qiyamah…

Para pembaca yang budiman… semoga Alloh mencurahkan rahmat dan taufiq-Nya kepada kita semua… Bukankah kita semua mencintai Alloh, Tuhan dan Sesembahan kita?! Jika benar kita mencintai-Nya, maka sudahkah kita buktikan kecintaan itu dalam kehidupan nyata?! Lalu apa yang bisa menjadi bukti cinta kita kepada-Nya?! Simaklah firman Alloh berikut ini:“Katakanlah (wahai Muhammad, kepada para hambaku)!: “Jika kalian benar-benar mencintai Alloh, maka ikutilah aku (yakni Nabi Muhammad)! Niscaya Alloh akan mencintai kalian, dan mengampuni dosa kalian. (Sungguh) Dia maha pengampun lagi maha penyayang.” (Alu Imron:31)…

Ayat ini dengan jelas memberikan kita pelajaran berharga, barangsiapa mengaku cinta Alloh, maka hendaklah ia mengikuti sunnah Rosul -shollallohu alaihi wasallam-… Dan dalam rangka mewujudkan cinta Alloh dan Rosul-Nya ini, marilah kita teliti gerak gerik kita dalam hidup ini, sudahkah sesuai tuntunan beliau?! Jika sudah sesuai, maka marilah istiqomah dan giat dalam menjalankannya! Sebaliknya jika kurang sesuai, marilah kita berlapang dada untuk membenahi dan mengoreksinya!… Semoga kita ditunjuki jalan yang lurus oleh-Nya… amin.

Artikel ini adalah lanjutan artikel sebelumnya, semoga bermanfaat bagi kaum muslimin semuanya, utamanya bagi mereka yang semangat untuk kembali meneladani Sang Pembawa Risalah ini, para sahabatnya, para tabi’in, dan para tabiut tabiin… amin.

Dalil keempat:

Banyak maslahat dari dzikir jama’i, diantaranya:

1. Dzikir jamai merupakan sarana untuk saling membantu dalam kebaikan.

Jawaban:

a. Sebenarnya ta’awun dalam dzikir jama’i ini bukanlah ta’awun dalam kebaikan, sebaliknya ia merupakan ta’awun dalam dosa dan kemaksiatan. Mengapa?! Karena itu adalah ta’awun dalam menghidupkan bid’ah yang tidak dituntunkan oleh Rosululloh -shollallohu alaihi wasallam-.

b. Jika dalam dzikir jamai itu ada nilai “ta’awun alal birri wat taqwa” (saling membantu dalam kebaikan dan ketakwaan) tentunya Rosul-lah orang yang pertama menerapkannya, disusul para sahabat yang sangat semangat dalam menauladani beliau. Tapi faktanya beliau dan para sahabatnya tidak pernah melakukan hal itu, dan sungguh telah berdusta setiap orang yang mengabarkan bahwa mereka pernah melakukannya.

c. Dalil ta’awun ini terlalu umum, dan bisa juga dipakai untuk membolehkan amalan yang lainnya, seperti: Siwakan bersama, sholat sunat qobliah dan ba’diyah bersama, menulis wasiat bersama… dan sederet ibadah yang mungkin dilakukan bersama, tapi pelaksanaannya yang secara bersama tidak pernah dicontohkan oleh Teladan kita, Nabi Muhammad -shollallohu alaihi wasallam-. Lalu apakah mereka juga akan menyetujui bolehnya amalan-amalan di atas?! Jika jawabannya “Ya”, maka sungguh mereka jauh dari tuntunan Beliau. Sebaliknya bila jawabannya “Tidak”, maka gugurlah dalil mereka dalam masalah ini.

2. Doa secara jamai lebih mustajab.

Jawaban:

a. Alasan ini juga ada ketika zaman Nabi -shollallohu alaihi wasallam-, meski begitu beliau tidak melakukannya. Jika hal itu memang boleh dilakukan, tentunya beliau akan lakukan doa bersama, minimal 5 kali sehari, setiap selesai sholat. Tapi mengapa hal tidak beliau lakukan?! Jawabannya adalah: Karena hal itu memang tidak disyariatkan oleh Islam. Ibnu Taimiyah, mengatakan: “Tidak ada seorang pun yang meriwayatkan, bahwa Nabi -shollallohu alaihi wasallam- setelah sholat jamaah, melakukan doa bersama dengan para ma’mumnya, baik ketika sholat shubuh, sholat ashar, maupun sholat-sholat yang lainnya. Akan tetapi yang ada nukilannya adalah ketika usai mengimami sholat, beliau menghadap kepada para sahabatnya, lalu berdzikir, dan mengajarkan dzikir kepada mereka”. (Al-Fatawa Al-Kubro 2/205)

b. Doa secara jama’i, jika dilakukan sesekali dan tidak dijadikan kebiasaan, maka hal itu dibolehkan… Berbeda halnya jika dilakukan secara terus menerus, misalnya: Setiap selesai sholat fardhu ada doa jama’inya, setiap selesai kajian ada doa jama’inya, setiap selesai kumpul bersama ada doa jama’inya… Jika prakteknya seperti ini, maka hal ini menjadi bid’ah, karena termasuk ibadah yang tidak ada tuntunannya dari Rosululloh -shollallohu alaihi wasallam-… Asy-Syathibi, seorang ulama besar dari Madzhab Maliki mengatakan: “Doa bersama yang dilakukan secara rutin, tidaklah termasuk perbuatan yang dicontohkan Rosululloh -shollallohu alaihi wasallam-, tidak ada pula ucapan, maupun persetujuan dari beliau tentang itu”. (Ali’tishom: 1/291)

c. Mustajabnya doa sangat dipengaruhi oleh sesuainya doa tersebut dengan tuntunan Rosululloh -shollallohu alaihi wasallam- dalam sifat dan waktunya. Jika praktek doa jama’i itu menyelisihi tuntunan beliau, bagaimana doa itu akan mustajab?! Bagaimana Alloh mengabulkan doa hambanya, yang ketika berdoa ia bermaksiat kepada-Nya dengan bid’ah?! Jika ada bawahan yang meminta bantuan kepada bosnya saat ia melakukan pelanggaran, apa bosnya akan menuruti permintaannya?!… wa lillahil matsalul a’la…

3. Kebanyakan manusia tidak tahu bahasa arab, hingga kemungkinan besar mereka akan salah ucap ketika doa atau dzikir sendiri, padahal salah ucap adalah salah satu sebab tidak mustajabnya doa, dan kita tahu mereka akan terhindar dari kesalahan itu jika doa dan dzikirnya dilakukan secara berjamaah.

Jawaban:

a. Tidak termasuk syarat doa, harus tepat dalam pelafalannya, tapi yang menjadi syarat adalah ikhlas, kesungguhan dalam berharap, dan mengikuti petunjuk Nabi -shollallohu alaihi wasallam-. Bahkan dalam doa juga tidak ada syarat harus menggunakan bahasa arab, kita bisa berdoa dengan bahasa apa saja yang kita mampui, dan Alloh maha mengetahui dan memahami apa yang dikehendaki oleh hamba dalam doanya.

b. Lihatlah para sahabat dahulu, mereka telah menyebar ke berbagai negara setelah meluasnya pemerintahan Islam. Ketika itu, telah banyak terlihat ujmah dan lahn (salah dalam melafalkan kata), dikarenakan banyaknya non arab yang masuk Islam. Meski begitu, tidak ada seorang pun sahabat yang melakukan dzikir jamai ini. Apakah mereka lebih cerdas dari para sahabat dalam mencari jalan keluar permasalahan ini?! Apakah doa dan dzikir jamai satu-satunya jalan keluar dari permasalahan ini, hingga dijadikan sandaran bolehnya praktek itu?!

c. Taruhlah apa yang mereka sebutkan itu benar, yakni tepat dalam melafalkan menjadi syarat dikabulkannya doa dan dzikir, tapi bukankah hal itu juga terjadi ketika membaca Alquran, ketika sholat, dan ketika melakukan ibadah yang lainnya?! Apakah mereka akan mengatakan membaca Alqur’an sebaiknya selalu bersama-sama dengan satu suara agar tidak salah dalam melafalkannya?! Apakah mereka juga mengatakan dzikir dalam sholat sebaiknya diucapkan serentak dengan suara lantang agar tidak salah dalam mengucapkannya?! Bukankah ada cara yang sesuai syariat, misalnya dengan mengajari mereka dalam kesempatan lain, tanpa menciptakan bid’ah baru dalam agama ini?!

d. Jika kekhawatiran salah ucap ketika berdzikir itu bisa diterima, maka harusnya mereka tidak lakukan dzikir jama’i itu di pondok-pondok, madrasah-madrasah dan perkumpulan orang agamis lainnya. Tapi kenyataannya mereka tetap melakukan dzikir jama’i itu di segala tempat dan kondisi… Ini menunjukkan bahwa alasan di atas bukanlah alasan sebenarnya, tapi mereka punya keyakinan bahwa dzikir jama’i itu lebih utama dari pada dzikir sendiri… Sungguh yang benar adalah sebaliknya, dzikir sendiri jauh lebih utama dari dzikir jama’i, karena dengan dzikir sendiri kita bisa lebih tenang, khusyu’, dan ikhlas dalam menjalaninya hanya karena Alloh semata… Bahkan kita dilarang melakukan dzikir jama’i ini, karena tidak adanya tuntunan dari Rosululloh -shollallohu alaihi wasallam- dan para sahabatnya… Ingatlah selalu Sabda Nabi -shollallohu alaihi wasallam- ini: “Ambillah tuntunanku dan juga tuntunan para khulafa’ur rosyidin setelahku! Gigitlah tuntunan itu dengan gigi-gigi geraham kalian! Dan jauhilah hal-hal baru (dalam agama)! Karena setiap yang demikian itu bid’ah, dan setiap bid’ah itu sesat, dan setiap kesesatan itu tempatnya di neraka!”

e. Ajaran Islam adalah ajaran yang mudah, Islam tidak menyuruh umatnya menghapal seluruh dzikir yang dituntunkan oleh Rosul -shollallohu alaihi wasallam-… Di sana juga ada dzikir yang panjang, dan ada yang pendek… Bagi yang mudah menghapal, ia bisa menghapal dzikir yang ia kehendaki, bagi yang sulit menghapal, ia bisa memilih dzikir yang pendek untuk dihapal, seperti: subhanallohalhamdulillahla ilaha illallohAllohu akbar… dan banyak dzikir yang lainnya, kemudian mengulang-ulangnya kapan pun dan selama apapun ia kehendaki… Bukankah ini lebih bebas dan lebih mudah?!… Mengapa kita persulit diri dengan menentukan waktu, tempat, bacaan dll, hingga hal yang asalnya ringan dan sesuai syariat menjadi berat dan menyelisihi syariat?!

Jika benar ada maslahat dalam dzikir jama’i, tapi di sana ada mafsadah yang lebih banyak dan lebih besar dari pada maslahat yang ada, padahal kita semua tahu kaidah yang mengatakan bahwa: “Menghindari mafsadah itu lebih didahulukan, dari pada mendatangkan maslahat”… Diantara banyak mafsadah itu adalah:

a. Menyelisihi petunjuk Rosululloh -shollallohu alaihi wasallam- dan para sahabatnya, dan tidak diragukan bahwa setiap yang demikian itu termasuk bid’ah yang sesat. Seandainya itu kebaikan, tentunya telah dilakukan Nabi -shollallohu alaihi wasallam-, lalu dicontoh oleh para sahabat, dan tentunya banyak nukilan dari mereka tentang dzikir jama’i ini. Tapi karena tidak ada satu pun nukilan dari mereka, itu menunjukkan bahwa mereka tidak pernah melakukannya, dan jika mereka tidak pernah melakukannya padahal mereka mampu, itu berarti menunjukkan bahwa hal itu bukan merupakan syariat islam. Dan setiap yang tidak masyru’ pada saat itu, maka sekarang pun hal itu tidak disyariatkan.

b. Menyebabkan amalan seorang hamba tertolak. Rosul -shollallohu alaihi wasallam- bersabda: “Barangsiapa melakukan amalan yang tidak sesuai dengan tuntunanku, maka amalan itu tertolak”. Lihatlah bagaimana pintarnya setan menggoda manusia, orang yang suka syahwat digoda dengan maksiat agar dosanya semakin menggunung. Adapun orang yang suka ibadah, setan menggodanya dengan bid’ah (seperti dzikir jama’i) agar amalannya tertolak dan tak menghasilkan pahala, atau bahkan malah menuai dosa.

c. Jika tempatnya di masjid, akan mengganggu para jamaah lain yang sedang sholat, dan membaca Alqur’an. padahal beliau telah bersabda: “Ingatlah bahwa kalian semua sedang bermunajat kepada Tuhannya, maka janganlah sebagian kalian mengganggu sebagian yang lain, dan janganlah sebagian kalian mengangkat suaranya atas sebagian yang lain”. (HR. Abu Dawud: 1135, dishohihkan oleh Albani).

d. Kadang terjadi pemotongan ayat dan dzikir yang tidak pada tempatnya, hingga bisa merusak maknanya.

e. Dzikir jamai menyebabkan banyaknya bermunculan dzikir-dzikir bid’ah lainnya. Padahal kita tahu bahwa: “Setiap ada bid’ah yang hidup, berarti ada sunnah yang mati”. Jika semakin banyak bid’ah tumbuh, berarti semakin banyak sunnah yang mati. Sungguh ini merupakan mafsadah yang sangat besar sekali.

f. Menjadikan orang malas berdzikir dan berdoa apabila tidak ada orang yang menuntunnya. Padahal sebenarnya kita diperintah untuk berdzikir dan berdoa kapan saja, dan dimana saja, tentunya dengan adab-adab yang mulia.

Dalil kelima:

Dzikir dengan bentuk seperti ini hanyalah sebuah wasilah, sedang tujuannya adalah beribadah kepada Alloh, padahal ada kaidah mengatakan: “Hukum sebuah wasilah (sarana/perantara), itu seperti hukum tujuannya” dan karena tujuannya adalah ibadah, dan ibadah itu dianjurkan, maka dzikir jama’i juga menjadi sesuatu yang dianjurkan.

Jawaban:

Kaidah di atas bisa dibenarkan bila wasilahnya dibolehkan oleh syariat, misalnya: Membeli air untuk tujuan wudlu yang diwajibkan, atau bekerja untuk menafkahi keluarga yang diwajibkan, atau tidur untuk mengembalikan kekuatan untuk ibadah… dll. Maka kaidah itu bisa diterapkan dalam masalah ini, sehingga membeli air, menafkahi keluarga, dan tidurnya menjadi amal ibadah…

Tapi kaidah itu tidak bisa diterapkan dalam wasilah yang diharamkan, misalnya: Mencuri air untuk tujuan wudlu yang diwajibkan, merampok untuk menafkahi keluarga yang diwajibkan, atau mengonsumsi narkotik agar ibadahnya tenang… dll. Apakah hukum wasilah di sini akan berubah?! Tentunya tidak. Tetap saja mencuri, merampok, dan mengonsumsi narkotik diharamkan, meski tujuannya mulia…

Begitu pula dalam masalah ini, tujuan yang mulia (seperti ibadah dzikir), tidak bisa merubah hukum wasilah yang diharamkan (seperti bid’ah dzikir jama’i). Hal ini telah lama dilarang oleh Nabi -shollallohu alaihi wasallam-. Lihatlah kisah tiga orang sahabat yang datang ke kediaman Rosul -shollallohu alaihi wasallam-! Ketika mereka merasa kecil hati karena mendengar kisah ibadahnya beliau, diantara mereka ada yang ingin sholat semalam suntuk, ada yang ingin puasa terus, dan ada yang ingin tidak menikah seumur hidup… Tujuan mereka sungguh sangat mulia, yakni ingin fokus dan membanyak ibadah, subhanalloh… Tapi Rosul -shollallohu alaihi wasallam- melarang mereka melakukannya, mengapa?! Karena itu tidak sesuai dengan tuntunan Beliau. Renungkan sabda beliau ketika mengingkari mereka: “Maka barangsiapa tidak suka dengan sunnahku, ia bukan termasuk golonganku”… Lihatlah… Tujuan yang mulia tidak otomatis menjadikan wasilahnya baik… Tapi tujuan yang baik, harusnya diraih dengan wasilah yang baik pula…


(Bersambung)

http://addariny.wordpress.com/2009/12/08/mengkritisi-dzikir-jamai-2-utk-dewasa/

Mengkritisi DZIKIR JAMA’I (Dzikir Bersama) Part-1

Bismillah walhamdulillah… sholawat dan salam untuk hamba dan Rosul-Nya, para keluarga, para sahabat, dan para pengikutnya yang baik, hingga hari kiamat nanti…

Seringkali kita menghadapi sanggahan ketika mengingatkan atau melarang orang lain mengikuti seremoni bid’ah, khususnya dzikir jamai. Kita sering dilontari syubhat yang sederhana tapi kadang masuk dan menancap di hati kita, hingga selanjutnya kita luluh dan toleran dengan apa yang mereka praktekkan dan dakwahkan.

Karena latar belakang ini dan permintaan dari salah seorang ikhwan, akhirnya penulis berusaha memberi sedikit pelita penerang dalam masalah ini. Semoga tulisan yang sederhana ini dapat membantu para pejuang sunnah dalam mempertahankan benteng sunnahnya dari serangan bid’ah dan para pembelanya, amin.

Definisi Dzikir Jama’i

Sebelum masuk dalam pembahasan inti, kita harus tahu dulu apa yang di maksud dengan dzikir jama’i?

Syeikh Dr. Muhammad bin Abdurrohman alu khomis mengatakan: “Dzikir jama’i adalah kegiatan yang dilakukan oleh sebagian orang, (seperti berkumpul setelah sholat lima waktu, atau di waktu dan keadaan lainnya), untuk mengulang-ulang dzikir, doa, atau wirid, dengan suara bersama, dan dipimpin oleh satu orang, atau tanpa ada yang memimpin, tapi mereka membaca dzikir-dzikir itu dengan cara bersama-sama dengan satu suara”. (Dzikir jama’i bainal ittiba’ wal ibtida’, hal: 11).

Syeikh Abdulloh Alfaqih dalam fatwanya mengatakan: “Dzikir jama’i adalah bacaan yang diucapkan oleh sekelompok orang yang berkumpul dan berdzikir dengan satu suara, dan (suara itu) serasi antara satu dengan yang lainnya”. (fatawa syabakah islamiyah, no fatwa: 7673)

Dari dua definisi ini kita dapat menarik ciri-ciri utama dzikir jamai:

  1. Dilakukan dengan kumpul bersama.
  2. Pembacaan dzikir, doa, atau wirid, dilakukan dengan satu suara.
  3. Biasanya dilakukan dengan dipimpin oleh satu orang, kemudian yang lain mengikutinya.

Diantara contoh dzikir jama’i:

  1. Membaca dzikir dan wirid setelah sholat dengan suara tinggi secara bersama-sama.
  2. Membaca dzikir Asmaul husna dengan suara tinggi secara bersama-sama.
  3. Dzikir yang dilakukan ketika ziarah kubur, dengan cara dipimpin oleh satu orang.
  4. Dzikir yang dilakukan oleh sekelompok orang yang thowaf, dengan suara tinggi, secara bersama-sama, dan dikomando oleh pemandunya.
  5. Membaca Surat Al-Fatihah secara bersama-sama, dengan dipandu oleh satu orang, yang biasa dilakukan ketika akan mengirimkan pahalanya kepada ahli kubur.
  6. Apa yang diistilahkan dengan yasinan, tahlilan, istighotsahan dan seremoni lainnya, yang mereka lakukan secara bersama-sama, dengan suara tinggi, dan satu suara.

Masih banyak lagi contoh dzikir jama’i ini, tapi insyaAlloh contoh yang kami sebutkan di atas, paling tidak bisa mewakili yang lainnya. Setiap mereka yang membela Dzikir jama'i ini melemparkan berbagai alasan / syubhat baik dari Al Qur'an maupun Hadits namun dipahami dengan pemahaman yang salah, yang tidak sejalan dengan apa yang dipahami oleh orang2 sholeh terdahulu baik dari para Sahabat,para Tabi'in,maupun para Tabiat tabi'in.

Toyyib, Selanjutnya mari kita lihat syubhat mereka beserta jawabannya.

Dalil pertama:

Adanya nash-nash syar’i memuji para ahli dzikir, dengan menggunakan dlomir jama’, dan itu menunjukkan anjuran berkumpul dan dzikir bersama mengingat Alloh, lihatlah sebagai misal:

  1. Alloh berfirman: “Wahai orang-orang yang beriman, berdzikirlah kalian dengan dzikir yang banyak, dan bertasbihlah kalian saat pagi dan petang” (Al-Ahzab:41-42)
  2. Alloh berfirman: “Orang yang berakal adalah mereka yang berdzikir (mengingat Alloh) ketika berdiri, duduk, dan berbaring. Dan mereka yang mengamati langit dan bumi (lalu mengatakan): Wahai tuhan kami, tidaklah Engkau ciptakan ini (semua) dengan sia-sia”. (Alu Imron:190-191)
  3. Alloh juga berfirman: “Berdzikirlah kalian dengan dzikir yang banyak, semoga kalian beruntung” (Al-Anfal:45)

Jawaban: Syubhat ini sangat mudah dijawab, diantara jawabannya:

1. Kita sepakat bahwa dzikir merupakan amalan yang dianjurkan Islam, tapi dengan dalih apa kita melakukannya dengan cara berjama’ah. Kita harus tahu, bahwa sebagaimana pokok ibadah itu harus didasari dengan dalil, begitu pula cara pelaksanaannya, harus didasari dalil. Nash-nash yang disebutkan di atas hanyalah menunjukkan anjuran untuk berdzikir, tidak ada petunjuk cara melakukannya dengan berjama’ah.

2. Dlomir jama’ bukan berarti perintah untuk melaksanakannya secara berjama’ah. Dlomir jama’ hanya menunjukkan bahwa perintah tersebut ditujukan kepada banyak orang, bukan berarti harus atau dianjurkan untuk berjama’ah dalam melaksanakannya.

3. Jika dlomir jama’ dalam nash-nash itu menunjukkan adanya anjuran untuk berjama’ah dalam berdzikir, maka bagaimana kita mengartikan firman Alloh ini: “Istri-istri kalian adalah ladang bagi kalian, maka hendaklah kalian datangi ladang kalian itu dari mana saja kalian kehendaki!” (Albaqoroh: 223). Apakah kita dianjurkan oleh ayat ini untuk berhubungan suami istri secara berjama’ah?!

Bagaimana pula kita memahami ayat ke-6 dari surat Alma’idah ini: “Wahai orang-orang yang beriman! Jika kalian (hendak) mendirikan sholat, maka hendaklah kalian membasuh wajah-wajah kalian, dan tangan-tangan kalian hingga sikunya… (sampai akhir ayat wudlu)”… Apakah kita akan mengatakan dianjurkannya wudlu secara berjama’ah?!

Bagaimana pula kita memahami ayat ini: “Dan jika kalian junub, maka hendaklah kalian bersuci” (Alma’idah: 6), apakah kita akan mengatakan dianjurkannya mandi junub secara bersama-sama?!

Bahkan bagaimana kita memahami ayat kedua di atas?! Apakah kita mengatakan dianjurkan untuk dzikir bersama dengan posisi berdiri, juga dzikir bersama dengan posisi tidur?! Adakah tuntunannya dzikir bersama seperti itu dari Nabi -shollallohu alaihi wasallam- dan para salafus sholeh?!

Uraian di atas menunjukkan bahwa dlomir jama’ hanya menunjukkan bahwa perintah tersebut ditujukan kepada orang banyak, bukan menunjukkan anjuran untuk melakukannya secara berjama’ah, wallohu a’lam.

4. Jika istidlal (cara berdalil) mereka memang benar (dan ini mustahil adanya), tapi bukankah kita memiliki suri tauladan dalam menjalani Syariat Islam ini?! Bukankah kita semua sepakat bahwa Rosul -shollallohu alaihi wasallam- tauladan terbaik umat ini?! Bahkan Alloh berfirman: “Sungguh pada Rosululloh ada suri tauladan yang baik bagi kalian” (Al-Ahzab: 21). Pertanyaannya: Pernahkah beliau Shallallahua'laihi wa sallam mencontohkan kepada kita pelaksanaan dzikir jama’i ini?! Pernahkan beliau melakukan tahlilan, yasinan, nariyahan, istighotsahan dll sebagaimana banyak dilakukan oleh orang-orang pada zaman ini?! Bukankah Rosululloh -shollallohu alaihi wasallam- menuntunkan kepada kita untuk tidak melakukannya?! Mengapa kita tidak meniru beliau untuk tidak melakukannya?! Apakah kita lebih tahu tentang kebaikan melebihi beliau?! Wahai saudaraku seiman, jawablah dari lubuk hatimu yang paling dalam…

5. Wahai para pecinta Sahabat Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali -rodhiyallohu anhum-… Wahai para pecinta Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad bin Hambal -rohimahumulloh-… Pernahkah mereka memberi contoh kepada kalian, amalan dzikir jama’i ini?! Kepada siapa kalian berkiblat dalam mengamalkan ajaran Islam ini?! Apakah kalian lebih giat dalam kebaikan melebihi mereka?! Bukankah salah seorang diantara mereka telah mengatakan bahwa: “Setiap bid’ah itu sesat, meski orang-orang menganggapnya baik”?! Sungguh tidak adanya contoh dari para generasi salafus sholih dalam masalah dzikir jama’i ini, merupakan bukti bahwa amalan tersebut bukanlah dari Islam, apalagi sampai dianjurkan oleh Islam, wallohu a’lam…


Dalil kedua: Hadits-hadits yang menerangkan tentang keutamaan majlis dzikir, diantaranya:

  1. Sabda Rosul -shollallohu alaihi wasallam-: “Sesungguhnya Alloh memiliki malaikat sayyaroh yang mulia, mereka bertugas mencari majlis-majlis dzikir. Maka jika mereka menemukan majlis yang ada dzikirnya, mereka langsung duduk bersama mereka, saling menyelimuti satu dan yang lainnya dengan sayap mereka, hingga menutupi antara para ahli dzikir itu dengan langit dunia. Lalu jika mereka berpisah, maka para malaikat itu naik ke langit, kemudian Alloh azza wajall menanyai mereka -meski Dia lebih tahu dari mereka-: “Dari mana kalian datang?”. Mereka menjawab: “Kami datang dari hamba-hamba-Mu di bumi, mereka bertasbih, bertakbir, bertahlil, bertahmid, dan berdoa pada-Mu…” di akhir hadits Alloh berfirman: “… Aku telah mengampuni mereka, memberi apa yang mereka minta, dan melindungi dari apa yang mereka meminta perlindungan darinya”. (HR. Bukhori: 6408 dan Muslim: 2689)
  2. Rosul -shollallohu alaihi wasallam- bersabda, Alloh taala berfirman: “Aku sebagaimana prasangka hamba-Ku pada-Ku. Dan Aku akan bersamanya bila ia menyebut-Ku. Jika ia menyebut-Ku dalam dirinya, Aku akan menyebutnya dalam diri-Ku. Dan jika ia menyebut-Ku di depan khalayak, aku juga akan menyebutnya di depan khalayak yang lebih baik dari mereka”. (HR. Bukhori:6856 dan Muslim:4832)
  3. Dari Mu’awiyah, bahwa Rosul -shollallohu alaihi wasallam- suatu hari keluar menghampiri para sahabatnya yang sedang berkumpul, beliau mengatakan: “Apa yang menjadikan kalian (berkumpul) duduk (di sini)”. Mereka menjawab: “Kami duduk untuk berdzikir dan memuji Alloh atas nikmat hidayah Islam yang diberikan kepada kami. Beliau bertanya lagi: “Demi Alloh, kalian berkumpul hanya karena itu?”. Mereka menjawab: “(Benar), demi Alloh kami berkumpul hanya karena itu”. Beliau lalu mengatakan: “Sungguh aku tidak meminta sumpah kalian karena mencurigai (niat) kalian, tapi karena Jibril mendatangiku dan mengabarkan bahwa Alloh azza wajall membangga-banggakan kalian di hadapan para malaikat”. (HR. Muslim:4869).
  4. Nabi -shollallohu alaihi wasallam- bersabda: “Seandainya aku duduk bersama kaum yang berdzikir (mengingat) Alloh mulai sholat Subuh hingga terbit matahari, itu lebih aku senangi dari pada memerdekakan empat budak dari keturunan Ismail. Dan seandainya aku duduk bersama suatu kaum yang berdzikir kepada Alloh, mulai dari sholat Ashar hingga terbenam matahari, itu lebih aku senangi dari pada memerdekakan empat budak” (HR. Abu Dawud: 3182, dihasankan oleh Albani)

Jawaban:

1. Dalil-dalil di atas tidak menunjukkan disyariatkannya dzikir jama’i, itu hanya menunjukkan anjuran berdzikir dan mengingat Alloh dengan cara yang dituntunkan oleh Rosululloh -shollallohu alaihi wasallam-.

2. Penyebutan Majlis dzikir dalam nash di atas, bukan berarti menunjukkan bolehnya dzikir jama’i, karena harus dipahami bahwa ada perbedaan antara Majlis Dzikir dengan Dzikir Jam’i

Hubungan antara keduanya adalah umum dan khusus mutlak, maksudnya: istilah majlis dzikir lebih luas cakupannya dari pada istilah dzikir jama’i dari segala sisi… Yakni, setiap dzikir jama’i pasti ada majlis dzikirnya… tapi tidak setiap majlis dzikir itu ada dzikir jama’inya… Dengan kata lain, adanya majlis dzikir, tidak otomatis menunjukkan adanya dzikir jamai, karena dua hal tersebut bukanlah dua hal yang saling melazimkan, wallohu a’lam.

Intinya dalil di atas hanya menunjukkan anjuran untuk mengadakan majlis dzikir, bukan menunjukkan anjuran untuk mengadakan dzikir jama’i… Maksudnya: Kita dianjurkan untuk mengadakan majlis dzikir , asal tidak ada dzikir jama’inya…

3. Istilah Majlis dzikir tidak khusus untuk majlis yang membaca dzikir, atau doa, atau wirid, akan tetapi bisa juga bermakna majlis ilmu.

Lihatlah jawaban Atho’ -rohimahulloh- ketika ditanya apakah majlis dzikir itu?, ia menjawab: (Yang dimaksud dengan majlis dzikir adalah) Majlis yang membahas tentang halal dan harom, bagaimana kamu sholat, bagaimana kamu puasa, bagaimana kamu nikah, bagaimana kamu mentalak, dan bagaimana mengadakan jual-beli…” (Al-Hilyah 3/313).

Lihat pula bagaimana Alloh menamai khotbah jum’at sebagai dzikir, yakni dalam firman-Nya: “Wahai orang-orang yang beriman, jika telah diseru untuk melaksanakan sholat pada hari jum’at, maka segeralah kamu pergi menuju dzikrulloh dan tinggalkanlah jual beli”. (Al-Jum’ah:9). Maksud dari dzikrulloh di sini adalah khutbah jum’at. (Lihat Tafsir Thobari 22/642). Jelas ini menunjukkan bahwa majlis ilmu juga disebut majlis dzikir.

Bahkan dalam ayat lain Alloh menyebut ahli ilmu dengan sebutan ahli dzikir, yakni dalam firman-Nya: “Bertanyalah kepada ahli dzikir, jika kamu tidak mengetahui” (Al-Anbiya’:7), maksud dari ahli dzikir di ayat ini adalah ahli ilmu, yakni para ulama’. (Lihat Tafsir Sa’di, hal: 519). Walhasil, sebagaimana ahli ilmu bisa di sebut ahli dzikir, majlis ilmu juga bisa disebut majlis dzikir, wallohu a’lam…

4. Dalil tersebut tidak menunjukkan dianjurkannya dzikir jama’i, tapi hanya menunjukkan anjuran berkumpul untuk berdzikir.

Kita harus bedakan antara dzikir bersama dengan bersama untuk dzikir. Dzikir bersama itu bid’ah, sedang bersama untuk berdzikir itu dianjurkan bila dilakukan sesuai syariat, sebagaimana dipahami oleh para sahabat…

Ibnu Taimiyah mengatakan: “Dahulu para sahabat Rosululloh jika kumpul bersama, mereka menyuruh salah seorang dari mereka membaca, kemudian yang lain mendengarkan. Umar dulu mengatakan kepada Abu Musa Al-Asy’ari: “Ingatkanlah kami pada Tuhan kami!”, lalu dia (yakni Abu Musa al-Asy’ari) membaca, sedang yang lain mendengarkan bacaannya”. (Majmu Fatawa Ibnu Taimiyah 11/523).

5. Imam At-Thorthusyi mengatakan: “Nash-nash (tentang keutamaan majlis dzikir dan berkumpul untuknya) ini, menunjukkan bolehnya berkumpul untuk membaca Alquran, seperti mempelajarinya, mengajarkannya, dan mengulang-ngulangnya. Seperti misalnya seorang murid membaca kepada gurunya, atau seorang guru membaca untuk muridnya, atau saling bergantian membaca untuk mudzakaroh dan mudarosah. Beginilah belajar dan mengajar, bukannya dengan membaca bersama-sama.

Intinya keterangan-keterangan ini adalah umum dalam menerangkan bolehnya sekelompok orang membaca bersama dengan cara bergilir, atau mereka membaca kepada guru Alqur’an… Sebagaimana diketahui, dalam bahasa arab, bila orang arab melihat sekelompok orang yang berkumpul untuk membaca Alquran kepada gurunya, dan ada satu orang saja yang membaca (kepada gurunya), maka bisa dikatakan: “Mereka itu jamaah yang sedang belajar ilmu… mereka itu jamaah sedang membaca ilmu dan hadits” meski pembacanya hanya satu orang. (al-Hawadits wal Bida’, hal. 166)


Dalil ketiga: Adanya beberapa atsar dari sebagian salaf, diantaranya:

  1. Dahulu Umar mengumandangkan takbir di kubahnya di mina. Mendengar takbir yang kumandangkannya, para jamaah di masjid pun ikut bertakbir, begitu pula mereka yang di pasar (luar), hingga bergemuruhlah mina dengan suara takbir. (Shohih Bukhori, Bab: At-Takbir Ayyama Mina)
  2. Dahulu para jamaah perempuan, mengumandangkan takbirnya dibelakang Aban bin Utsman dan Umar bin Abdul Aziz, yakni ketika malam-malam tasyriq bersama para jamaah laki-laki di masjid. (Shohih Bukhori, Bab: At-Takbir Ayyama Mina)

Jawaban:

1. Atsar Umar ini tidak tegas menunjukkan bolehnya dzikir jama’i seperti yang dilakukan orang-orang di era ini. Atsar itu hanya menunjukkan bahwa orang-orang pada waktu itu meniru apa yang dilakukan Umar, maka mereka pun bertakbir sebagaimana umar bertakbir, yakni dengan suara yang tinggi. Dan karena terlalu banyaknya orang yang bertakbir saat itu, hingga bergemuruhlah mina dengan suara takbir.

Lajnah Da’imah mengatakan (fatwa no:20189): “Apa yang dilakukan Umar bukanlah dalil bolehnya takbir jama’i, itu hanya menunjukkan bahwa Umar bertakbir sendiri, lalu ketika orang-orang mendengar takbirnya, maka mereka pun ikut bertakbir, masing-masing dari mereka bertakbir sendiri-sendiri, atsar itu tidak menunjukkan bahwa mereka itu bertakbir dengan takbir jama’i. wabillahittaufiq.”

2. Umar tidak pernah melakukan takbir -seperti yang dilakukannya di mina saat haji- pada waktu lainnya. Seandainya takbir seperti itu boleh dilakukan kapan saja, tentunya akan beliau lakukan, atau dilakukan oleh sahabat lainnya, karena tidak ada satu generasi pun dari umat ini, yang lebih semangat dalam mengerjakan kebaikan melebihi para sahabat Nabi -rodhiallohu anhum-. Tapi nyatanya tidak ada satu pun dari mereka yang melakukan hal seperti itu di waktu lainnya.

3. Atsar Kedua hanya menunjukkan bahwa para jamaah wanita pada waktu itu juga mengumandangkan takbir di masjid, sebagaimana dilakukan oleh para jamaah laki-laki. Itupun hanya dilakukan pada malam-malam tasyriq, yakni pada momen hari raya, bukan berarti boleh dilakukan kapan saja.

4. Pemakaian atsar di atas, sebagai dalil bolehnya dzikir jama’i adalah tidak pada tempatnya, karena atsar tersebut berkenaan dengan takbir jama’i, bukan dzikir jama’i. Jadi sebenarnya, atsar di atas tidak ada hubungannya sama sekali dengan dzikir jama’i yang banyak dipraktekkan oleh orang-orang di zaman ini. Sahabat Umar dan para ulama salaf yang sholeh, tidak pernah melakukan tahlilan bersama, atau yasinan bersama, atau istighotsahan, atau dzikir jama’i yang lainnya, padahal tentunya mereka lebih mampu melakukannya melebihi kita. Seandainya dzikir jama’i itu dianjurkan oleh Islam, tentunya merekalah orang yang pertama mengamalkannya. Sungguh tiada generasi yang lebih alim dan lebih giat dalam ketaatan melebihi para salafus sholih itu.

5. Ada banyak perbedaan antara syariat takbiran dengan dzikir, diantaranya:

  • Takbiran untuk hari ied sunnahnya dikeraskan, sedang dzikir secara umum sunnahnya dilirihkan.
  • Takbiran untuk hari ied disunnahkan pada hari-hari tertentu, sedang dzikir secara umum disunnahkan kapan saja, dan tidak ada batasan waktu.
  • Takbiran untuk hari ied, adalah salah satu syiar islam yang dianjurkan untuk ditampakkan seperti adzan, berbeda dengan dzikir secara umum dianjurkan untuk dilakukan secara lirih.

Dari perbedaan-perbedaan ini, kita tahu bahwa keduanya merupakan dua hal yang berbeda dan tidak mungkin bisa dikiaskan. Jika ada yang mengatakan bahwa atsar di atas menunjukkan bolehnya takbiran jama’i ketika hari ied, itu bukan berarti atsar tersebut bisa dipakai untuk melegalkan dzikir jama’i, karena banyaknya perbedaan antara keduanya. Wallohu a’lam.


(bersambung InsyaAllah)


sumber : http://addariny.wordpress.com/2009/12/05/mengkritisi-dzikir-jamai-1-utk-dewasa/

diedit oleh : Abu Abdillah Ad Dani

Minggu, 14 November 2010

Pengusaha Sukses Dunia dan Akhirat, Mungkinkah?

Dunia usaha dan bisnis yang sukses sering diidentikkan dengan gaya hidup mewah, glamor, cinta dunia yang berlebihan, dan ambisi yang tidak pernah puas untuk terus mengejar harta. Bahkan, sebagian dari para ulama menyifati dunia bisnis sebagai urusan dunia yang paling besar pengaruh buruknya dalam menyibukkan dan melalaikan manusia dari mengingat Allah Subhanahu wa Ta'ala. [1]

Hal ini dikarenakan bisnis yang sukses akan mendatangkan keuntungan harta yang berlimpah, yang tentu saja ini merupakan ancaman fitnah (kerusakan) besar bagi seorang hamba yang tidak memiliki benteng iman yang kokoh untuk menghadapi dan menangkal fitnah tersebut.

Bahkan, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam secara khusus memperingatkan umat beliau dari besarnya bahaya fitnah harta dan kedudukan duniawi dalam merusak agama dan keimanan seseorang dalam sabda beliau shallallahu 'alaihi wa sallam,

مَا ذِئْبَانِ جَائِعَانِ أُرْسِلا فِي غَنَمٍ بِأَفْسَدَ لَهَا مِنْ حِرْصِ الْمَرْءِ عَلَى الْمَالِ وَالشَّرَفِ لِدِينِه

"Tidaklah dua ekor serigalaِ kelaparan yang dilepaskan kepada kambing lebih besar kerusakan (bahaya)nya terhadap kambing tersebut, dibandingkan dengan (sifat) rakus seorang manusia terhadap harta dan kedudukan (dalam merusak/membahayakan) agamanya."[2]

Timbulnya kerusakan ini dikarenakan kerakusan terhadap harta dan kedudukan akan memacu seseorang untuk terus mengejar dunia dan menjerumuskannya kepada hal-hal yang merusak agamanya, karena umumnya, sifat inilah yang membangkitkan dalam diri seseorang sifat sombong dan selalu berbuat kerusakan di muka bumi, yang sangat tercela dalam agama.[3] Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman,

تِلْكَ الدَّارُ الْآخِرَةُ نَجْعَلُهَا لِلَّذِينَ لا يُرِيدُونَ عُلُوّاً فِي الْأَرْضِ وَلا فَسَاداً وَالْعَاقِبَةُ لِلْمُتَّقِينَ

"Negeri akhirat itu Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak ingin menyombongkan diri dan berbuat kerusakan (maksiat) di (muka) bumi, dan kesudahan (yang baik) itu (surga) adalah bagi orang-orang yang bertakwa." (QS. Al-Qashash: 83)

Kenyataan inilah yang seharusnya menjadikan seorang muslim yang menghendaki kebaikan dan keselamatan dirinya, utamanya kalangan yang menggeluti dunia usaha dan bisnis, untuk selalu waspada dan introspeksi diri, serta tidak terlalu percaya diri (bersandar kepada kemampuan diri) dalam hal ini, dengan merasa imannya kuat dan aman dari kemungkinan terjerumus ke dalam fitnah tersebut. Cukuplah sikap percaya diri yang berlebihan seperti ini menjadi bukti rapuhnya keimanan dalam hati dan pertanda jauhnya taufik dari Allah Subhanahu wa Ta'ala kepada hamba tersebut!!

Imam Ibnul Qayyim berkata, "Al-‘Arifun (orang-orang yang memiliki pengetahuan yang dalam tentang Allah dan agama-Nya) telah bersepakat (mengatakan) bahwa (arti) taufik itu adalah dengan Allah tidak menyandarkan (urusan) kita kepada diri kita sendiri, dan (sebaliknya arti) al-khidzlan (berpalingnya Allah Subhanahu wa Ta'ala dari hamba) adalah dengan Allah membiarkan diri kita (bersandar) kepada diri kita sendiri (tidak bersandar kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala)...”[4]

Inilah makna doa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam yang terkenal dan termasuk doa yang dianjurkan untuk dibaca pada waktu pagi dan petang, “…(Ya Allah,) jadikanlah baik semua urusanku dan janganlah Engkau membiarkan aku bersandar kepada diriku sendiri (meskipun cuma) sekejap mata.”[5]

Tidakkah orang yang beriman mengkhawatirkan dirinya akan kemungkinan ditimpa kerusakan dalam agama dan imannya sebagai akibat dari fitnah harta. Padahal, hamba Allah Subhanahu wa Ta'ala yang paling sempurna imannya, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, mengkhawatirkan hal ini menimpa umatnya, sebagaimana doa beliau shallallahu 'alaihi wa sallam,

ولا تَجْعَلْ مُصيبَتَنَا في دِيْنِنا ، ولا تَجْعَلِ الدُّنْيا أَكْبَرَ همِّنا

"(Ya Allah) janganlah Engkau jadikan malapetaka (kerusakan) yang menimpa kami dalam agama kami, dan janganlah Engkau jadikan dunia (harta dan kedudukan[6]) sebagai target utama kami."[7]

Fitnah harta dan dunia

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ لِكُلِّ أُمَّةٍ فِتْنَةً، وَفِتْنَةَ أُمَّتِي الْمَالُ

Sesungguhnya pada setiap umat (kaum) ada fitnah (yang merusak/menyesatkan mereka) dan fitnah (pada) umatku adalah harta.

Maksudnya: menyibukkan diri dengan harta secara berlebihan adalah fitnah (yang merusak agama seseorang) karena harta dapat melalaikan pikiran manusia dari melaksanakan ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dan membuatnya lupa kepada akhirat, sebagaimana firman-Nya,

إِنَّمَا أَمْوَالُكُمْ وَأَوْلادُكُمْ فِتْنَةٌ وَاللَّهُ عِنْدَهُ أَجْرٌ عَظِيمٌ

Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu merupakan fitnah (bagimu), dan di sisi Allah-lah pahala yang besar.” (QS. At-Taghabun:15)[8]

Dalam hadits lain, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Demi Allah, bukanlah kemiskinan yang aku takutkan (akan merusak agama) kalian, akan tetapi yang aku takutkan bagi kalian adalah jika (perhiasan) dunia dibentangkan (dijadikan berlimpah) bagi kalian sebagaimana (perhiasan) dunia dibentangkan bagi umat (terdahulu) sebelum kalian, maka kalian pun berambisi dan berlomba-lomba mengejar dunia sebagaimana mereka berambisi dan berlomba-lomba mengejarnya, sehingga dunia itu membinasakan kalian sebagaimana dunia membinasakan mereka."[9]

Arti sabda beliau shallallahu 'alaihi wa sallam "… sehingga dunia itu membinasakan kalian" adalah dunia menjerumuskan kalian ke dalam (jurang) kebinasaan disebabkan oleh persaingan yang tidak sehat untuk mendapatkannya, kecintaan yang berlebihan terhadapnya, dan kesibukan dalam mengejarnya, sehingga melalaikan dari mengingat Allah Subhanahu wa Ta'ala dan balasan di akhirat.[10]

Dalam hadits ini terdapat nasihat berharga bagi orang yang dibukakan baginya pintu-pintu harta, yaitu agar hendaknya dia bersikap waspada dari keburukan fitnah dan kerusakan harta, dengan tidak berlebihan dalam mencintainya dan terlalu berambisi dalam berlomba-lomba mengejarnya.[11]

Kerusakan lain yang ditimbulkan dari kecintaan yang berlebihan terhadap harta adalah sifat tamak/rakus dan ambisi untuk mengejar dunia, karena secara tabiat asal, nafsu manusia tidak akan pernah merasa puas/cukup dengan harta dan kemewahan dunia yang dimilikinya, bagaimanapun berlimpahnya,[12] kecuali orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala.

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mengingatkan hal ini dalam sabda beliau, “Seandainya seorang manusia memiliki dua lembah (yang penuh berisi) harta/emas maka dia pasti akan menginginkan lembah (harta) yang ketiga.”[13]

Sifat rakus inilah yang akan terus memacunya untuk mengejar harta dan mengumpulkannya siang dan malam, dengan mengorbankan apa pun untuk tujuan tersebut. Akibatnya, tenaga dan pikirannya akan terus terkuras untuk mengejar ambisi tersebut, dan ini merupakan kerusakan sekaligus siksaan besar bagi dirinya di dunia.

Imam Ibnul Qayyim al-Jauziyyah berkata, “Orang yang mencintai dunia/harta (secara berlebihan) tidak akan lepas dari tiga (kerusakan dan penderitaan): kekalutan (pikiran) yang tidak pernah hilang, keletihan yang berkepanjangan, dan penyesalan yang tiada akhirnya.[14]

Dalam hal ini, salah seorang ulama salaf berkata, “Barangsiapa yang mencintai dunia/harta (secara berlebihan) maka hendaknya dia mempersiapkan dirinya untuk menanggung berbagai macam penderitaan.”[15]

Memanfaatkan harta untuk meraih ketakwaan kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala

Perlu dicamkan di sini, bahwa ayat-ayat al-Qur-an dan hadits-hadits Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, yang berisi celaan terhadap harta dan dunia, bukanlah memaksudkan bahwa celaan terhadap zat harta dan dunia itu sendiri, tetapi maksudnya adalah kecintaan yang berlebihan terhadapnya sehingga melalaikan manusia dari mengingat Allah Subhanahu wa Ta'ala, dan tidak menunaikan hak Allah Subhanahu wa Ta'ala padanya,[16] sebagaimana firman-Nya,

وَالَّذِينَ يَكْنِزُونَ الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ وَلا يُنْفِقُونَهَا فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَبَشِّرْهُمْ بِعَذَابٍ أَلِيمٍ

Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menginfakkannya di jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih.” (QS. At-Taubah: 34)

Imam Ibnu Muflih Al-Maqdisi berkata, "Dunia (harta) tidaklah dilarang (dicela) pada zatnya, tetapi karena (dikhawatirkan) harta itu menghalangi (manusia) untuk mencapai (ridha) Allah Subhanahu wa Ta'ala, sebagaimana kemiskinan tidaklah dituntut (dipuji) pada zatnya, tetapi karena kemiskinan itu (umumnya) tidak menghalangi dan menyibukkan (manusia) dari (beribadah kepada) Allah. Betapa banyak orang kaya yang kekayaannya tidak menyibukkannya dari (beribadah kepada) Allah Subhanahu wa Ta'ala, seperti Nabi Sulaiman 'alaihis salam. Demikian pula (sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam) 'Utsman (bin 'Affan) radhiyallahu 'anhu dan 'Abdurrahman bin 'Auf radhiyallahu 'anhu. Serta, betapa banyak orang miskin yang kemiskinannya (justru) melalaikannya dari beribadah kepada Allah dan memalingkannya dari kecintaan serta kedekatan kepada-Nya..."[17]

Bahkan, banyak ayat Al-Quran dan hadits Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam yang berisi pujian terhadap orang yang memiliki harta dan menggunakannya untuk mencapai ridha Allah Subhanahu wa Ta'ala, di antaranya:

1. Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala,

رِجَالٌ لَا تُلْهِيهِمْ تِجَارَةٌ وَلَا بَيْعٌ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَإِقَامِ الصَّلَاةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ يَخَافُونَ يَوْمًا تَتَقَلَّبُ فِيهِ الْقُلُوبُ وَالْأَبْصَارُ

"Laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual-beli dari mengingat Allah, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat. Mereka takut pada hari (pembalasan), yang (pada saat itu) hati dan penglihatan menjadi goncang." (QS. An-Nur: 37)

Imam Ibnu Katsir berkata, “Mereka adalah orang-orang yang tidak disibukkan/dilalaikan oleh harta benda dan perhiasan dunia, serta kesenangan berjual-beli (berbisnis) dan meraih keuntungan (besar) dari mengingat (beribadah) kepada Rabb mereka (Allah Subhanahu wa Ta'ala) Yang Maha Menciptakan dan Melimpahkan rezeki kepada mereka, dan mereka adalah orang-orang yang mengetahui (meyakini) bahwa (balasan kebaikan) di sisi Allah Subhanahu wa Ta'ala adalah lebih baik dan lebih utama daripada harta benda yang ada di tangan mereka, karena sesuatu yang ada di tangan mereka akan habis/musnah sedangkan balasan di sisi Allah adalah kekal abadi.”[18]

Imam Al-Qurthubi berkata, "Dianjurkan bagi seorang pedagang (pengusaha) untuk tidak disibukkan/dilalaikan dengan perniagaan (usaha)nya dari menunaikan kewajiban-kewajibannya. Oleh karenanya, ketika tiba waktu shalat fardhu, hendaknya dia (segera) meninggalkan perniagaannya (untuk menunaikan shalat), agar dia termasuk ke dalam golongan orang-orang (yang dipuji Allah Subhanahu wa Ta'ala) dalam ayat ini."[19]

2. Sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, "Tidak ada hasad/iri[20] (yang terpuji) kecuali kepada dua orang: (yang pertama adalah) orang yang Allah anugerahkan kepadanya harta lalu dia menginfakkan hartanya di (jalan) yang benar (di jalan Allah Subhanahu wa Ta'ala), dan (yang kedua adalah) orang yang Allah anugerahkan kepadanya ilmu lalu dia mengamalkannya dan mengajarkannya (kepada orang lain)."[21]

3. Dari Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu, dia berkata, “Ibuku (Ummu Sulaim radhiyallahu 'anha) pernah berkata, '(Wahai Rasulullah), berdoalah kepada Allah untuk (kebaikan) pelayan kecilmu ini (Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu).'” Anas berkata, “Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pun berdoa (meminta kepada Allah) segala kebaikan untukku, dan doa kebaikan untukku yang terakhir beliau ucapkan, 'Ya Allah, perbanyaklah harta dan keturunannya, serta berkahilah harta dan keturunan yang Engkau berikan kepadanya.'” Anas berkata, “Demi Allah, sungguh aku memiliki harta yang sangat banyak, dan sungguh anak dan cucuku saat ini (berjumlah) lebih dari seratus orang.”[22]

Hadits ini menunjukkan keutamaan memiliki banyak harta dan keturunan yang diberkahi Allah Subhanahu wa Ta'ala dan tidak melalaikan manusia dari ketaatan kepada-Nya,[23] karena Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam tidak mungkin mendoakan keburukan untuk sahabatnya, dan Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu sendiri menyebutkan ini sebagai doa kebaikan. Oleh karena itulah, Imam An-Nawawi mencantumkan hadits ini dalam bab “Keutamaan Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu”.[24]

4. Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, dia berkata, “Orang-orang miskin (dari para sahabat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam) pernah datang menemui beliau shallallahu 'alaihi wa sallam, lalu mereka berkata, "Wahai Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, orang-orang (kaya) yang memiliki harta yang berlimpah bisa mendapatkan pahala (dari harta mereka), kedudukan yang tinggi (di sisi Allah Subhanahu wa Ta'ala), dan kenikmatan yang abadi (di surga), karena mereka melaksanakan shalat seperti kami melaksanakan shalat dan mereka juga berpuasa seperti kami berpuasa, tetapi mereka memiliki kelebihan harta yang mereka gunakan untuk menunaikan ibadah haji, umrah, jihad, dan sedekah, sedangkan kami tidak memiliki harta.…" Dalam riwayat Imam Muslim, di akhir hadits ini Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Itu adalah karunia (dari) Allah yang diberikan-Nya kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya."[25]

Dalam hadits ini, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam tidak mengingkari ucapan para sahabat tersebut tentang pahala dan keutamaan besar yang diraih oleh orang-orang kaya pemilik harta yang menginfakkannya di jalan Allah Subhanahu wa Ta'ala, bahkan di akhir hadits ini Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam memuji perbuatan mereka. Oleh karena itu, Imam Ibnu Hajar --ketika menjelaskan hadits ini-- berkata, "Dalam hadits ini (terdapat dalil yang menunjukkan) lebih utamanya orang kaya yang menunaikan hak-hak (Allah Subhanahu wa Ta'ala) pada (harta) kekayaannya dibandingkan orang miskin, karena berinfak di jalan Allah (seperti yang disebutkan dalam hadits di atas) hanya bisa dilakukan oleh orang kaya."[26]

Antara kaya dan miskin

Siapakah yang lebih utama di sisi Allah Subhanahu wa Ta'ala: orang kaya yang bersyukur dengan kekayaannya atau orang miskin yang bersabar dengan kemiskinannya?

Para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini, ada yang lebih mengutamakan orang kaya yang bersyukur dan ada yang lebih mengutamakan orang miskin yang bersabar. Kedua pendapat ini juga dinukil dari ucapan Imam Ahmad bin Hambal.[27]

Kedua pendapat ini masing-masing memiliki berbagai argumentasi dari Al-Quran dan hadits Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam yang sama kuatnya, sehingga para ulama ahli tahqiq (yang terkenal dengan ketelitian dalam berpendapat) tidak menguatkan salah satu di antara dua pendapat tersebut, tetapi mereka memilih pendapat yang menggabungkan keduanya, yaitu: yang lebih utama di antara keduanya adalah yang paling besar ketakwaannya kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, berdasarkan keumuman makna firman-Nya,

إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ

"Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu." (QS. Al-Hujurat: 13)

Maka, orang kaya yang lebih besar rasa syukurnya lebih utama dibanding orang miskin yang lebih sedikit kesabarannya dan sebaliknya.

Pendapat inilah yang dipilih oleh Syekhul Islam Ibnu Taimiyyah dan dua murid beliau, yaitu Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah[28] dan Ibnu Muflih Al-Maqdisi[29].

Syekhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata, "Telah terjadi perbedaan pendapat di kalangan kebanyakan (ulama) zaman sekarang tentang siapakah yang lebih utama: orang kaya yang bersyukur atau orang miskin yang bersabar. Sebagian dari para ulama dan ahli ibadah menguatkan pendapat pertama (orang kaya yang bersyukur lebih utama), sementara ulama dan ahli ibadah yang lain menguatkan pendapat kedua (orang miskin yang bersabar lebih utama). Kedua pendapat ini (juga) dinukil dari Imam Ahmad.

Adapun para shahabat dan tabi'in radhiyallahu 'anhum, maka tidak ada satu pun nukilan dari mereka (tentang) keutamaan salah satu dari dua golongan tersebut dibanding yang lain.

Sekelompok ulama lainnya berkata, "Masing-masing dari keduanya tidak ada yang lebih utama dibanding yang lain kecuali dengan ketakwaan. Maka, yang paling kuat iman dan ketakwaannya itulah yang paling utama. Kalau iman dan ketakwaan keduanya sama maka keutamaan keduanya pun sama.”

Inilah pendapat yang paling benar, karena dalil-dalil dari Al-Qur-an dan hadits Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam menunjukkan (bahwa) keutamaan (manusia di sisi Allah Subhanahu wa Ta'ala dicapai) dengan keimanan dan ketakwaan. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman,

إِنْ يَكُنْ غَنِيًّا أَوْ فَقِيرًا فَاللَّهُ أَوْلَى بِهِمَا

"Jika ia kaya atau pun miskin, maka Allah lebih tahu (keadaan) keduanya." (QS. An-Nisa': 135)

Di antara para Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan para shahabat radhiyallahu 'anhum yang terdahulu dan pertama (masuk Islam), ada orang-orang kaya yang keutamaannya (di sisi Allah Subhanahu wa Ta'ala) lebih besar dibandingkan kebanyakan orang-orang miskin (setelah mereka), sebagaimana di antara mereka ada orang-orang miskin yang keutamaannya (di sisi Allah Subhanahu wa Ta'ala) lebih besar dibandingkan kebanyakan orang-orang kaya (setelah mereka).

Orang-orang yang sempurna (keimanan dan ketakwaannya) mampu menegakkan dua sifat agung tersebut (syukur dan sabar) secara sempurna (dalam semua kondisi), seperti gambaran yang ada pada diri Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam, dan pada diri (dua shahabat) Abu Bakar radhiyallahu 'anhu dan ‘Umar radhiyallahu 'anhu.

Akan tetapi, terkadang seseorang lebih baik baginya (dalam keimanan) jika diberi kemiskinan, sementara orang lain lebih baik baginya jika mendapatkan kekayaan, sebagaimana kesehatan lebih baik bagi sebagian manusia dan penyakit lebih baik bagi yang lain...”[30]

Teladan sempurna dari ulama salaf

Para ulama salaf adalah sebaik-baik teladan dalam semua kebaikan dan keutamaan dalam agama ini, tidak terkecuali dalam memanfaatkan harta dan kekayaan untuk meraih ridha Allah Subhanahu wa Ta'ala. Di antara para ulama salaf yang terkenal dengan sifat ini adalah:

Pertama, shahabat yang mulia, 'Utsman bin 'Affan bin Abil 'Ash Al-Umawi radhiyallahu 'anhu (wafat tahun 35 H), salah seorang dari Al-Khulafa Ar-Rasyidin dan sepuluh orang shahabat yang dijamin masuk surga oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Beliau radhiyallahu 'anhu sangat terkenal dengan kekayaan dan kedermawanan.

Beliaulah yang membeli sumur Rumah dari pemiliknya yang seorang Yahudi, untuk air minum bagi kaum muslimin, dan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menjanjikan bagi beliau balasan air minum di surga kelak.

Ketika Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam ingin memperluas Mesjid Nabawi, 'Utsman radhiyallahu 'anhu menyumbangkan hartanya untuk membeli tanah perluasan mesjid tersebut.

Beliau juga yang membiayai persiapan jihad pasukan Al-'Usrah dalam perang Tabuk, yaitu sebanyak 950 ekor unta dan 50 ekor kuda. Sehingga setelah itu Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda berkali-kali, "Tidak akan merugikan 'Utsman apa (pun) yang dilakukannya setelah hari ini."[31],[32]

Kedua, shahabat yang mulia, 'Abdurrahman bin 'Auf Al-Qurasyi radhiyallahu 'anhu (wafat tahun 32 H), salah seorang dari sepuluh shahabat yang dijamin masuk surga oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan juga merupakan shahabat yang sangat terkenal dengan kekayaan dan kedermawanan.

Imam Az-Zuhri berkata, "Di masa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, 'Abdurrahman bin 'Auf pernah bersedekah dengan separuh dari harta beliau (yaitu sebesar) empat ribu dinar, lalu beliau bersedekah (lagi) dengan (harta sebesar) empat puluh ribu dinar. Kemudian beliau menanggung (biaya seharga) lima ratus ekor kuda (untuk keperluan berjihad) di jalan Allah. Setelah itu, beliau menanggung (biaya seharga) lima ratus ekor unta (untuk keperluan berjihad) di jalan Allah. Sebagian besar hasil kekayaan beliau (diperolehnya) dari (usaha) perniagan.[33]

Ketiga, 'Ali bin Husein bin 'Ali bin Abi Thalib Al-Hasyimi Al-Madani (wafat tahun 94 H),[34] putra dari cucu Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam yang terkenal, Husein bin 'Ali radhiyallahu 'anhu dan Imam besar dari kalangan Tabi’in (murid para shahabat radhiyallahu 'anhum), serta sangat terpercaya dan teliti dalam meriwayatkan hadits Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam.[35] Beliau sangat terkenal dengan ketekunan beribadah sehingga digelari sebagai zainul 'abidin (perhiasan bagi para ahli ibadah).[36]

Termasuk amal ibadah agung yang sering beliau lakukan adalah banyak bersedekah untuk orang-orang miskin penduduk Madinah, sehingga sewaktu beliau wafat dan jenazah beliau dimandikan, terlihat di punggung beliau bekas-bekas berwarna hitam pada kulit beliau, karena semasa hidupnya beliau sering memikul karung berisi tepung (makanan) untuk disedekahkan kepada orang-orang miskin, di malam hari secara sembunyi-sembunyi.[37]

Bahkan, semasa hidupnya beliau menanggung biaya seratus keluarga miskin di Madinah. Sampai-sampai, orang menyangka beliau kikir dan suka menimbun harta, karena beliau selalu menyembunyikan sedekah beliau.[38]

Keempat, Yunus bin 'Ubaid bin Dinar Al-Bashri (wafat tahun 139 H)[39], imam panutan yang sangat terpercaya dan teliti dalam meriwayatkan hadits Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, serta sangat wara’ (hati-hati dalam masalah halal dan haram).[40]

Beliau adalah seorang pedagang kain yang sangat jujur dan selalu menjelaskan cacat barang dagangan beliau sebelum terjadi jual beli[41]. Bahkan, karena kejujurannya, beliau pernah mengembalikan uang seorang pembeli yang membeli kain beliau dengan harga yang lebih tinggi, karena waktu itu yang menjualnya adalah keponakan beliau.[42] Bagitu pula sebaliknya, jika beliau membeli barang dari seseorang, maka beliau akan membayarnya dengan harga yang sesuai, meskipun orang tersebut pada awalnya menawarkannya dengan harga yang lebih murah.[43]

Diriwayatkan dalam biografi beliau, bahwa suatu saat harga kain di suatu daerah dekat Bashrah naik menjadi lebih mahal, yang mana sesuai kebiasaan, jika daerah tersebut harga kainnya naik maka harga kain di Bashrah pun nantinya ikut naik. Mengetahui hal itu, Yunus bin 'Ubaid segera membeli sejumlah besar kain kepada pedagang kain lainnya dengan harga pasaran biasa. Setelah selesai membeli barang tersebut, beliau bertanya kepada penjual tersebut, “Apakah engkau mengetahui bahwa harga kain naik di daerah anu?” Penjual tersebut menjawab, “Tidak, kalau saja aku tau tentu aku tidak akan menjualnya kepadamu.” Maka Yunus bin 'Ubaid berkata, “(Kalau begitu) kembalikan uangku padamu dan aku akan kembalikan barangmu.”[44]

Kelima, 'Abdurrahman bin Aban bin 'Utsman bin 'Affan Al-Umawi Al-Madani, cucu shahabat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam yang mulia, 'Utsman bin 'Affan radhiyallahu 'anhu, imam besar dari kalangan atba’ut tabi’in (murid para tabi’in), ahli ibadah dan terpercaya dalam meriwayatkan hadits Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam.[45]

Musa bin Muhammad At-Taimi memuji beliau dengan mengatakan, "Aku tidak pernah melihat (seorang lelaki) yang lebih banyak menghimpun agama, kerajaan (kekuasaan), dan kemuliaan (nasab) melebihi 'Abdurrahman bin Aban.[46]

Beliau pernah membeli satu keluarga budak, kemudian memberikan pakaian untuk mereka semua, setelah itu beliau berkata kepada mereka, "Kalian (semua) aku bebaskan karena (mengharapkan) wajah Allah. Aku menjadikan kalian sebagai (salah satu sebab) penolongku (menghadapi dasyatnya) sakaratul maut."[47]

Beliau sangat rajin beribadah, sehingga 'Ali bin 'Abdullah bin 'Abbas mengagumi dan meneladani beliau dalam kebaikan.[48]

Keenam, Abdullah bin Al-Mubarak Al-Marwazi (wafat tahun 181 H)[49], imam besar yang ternama dari kalangan atba’ut tabi’in yang sangat terpercaya dan teliti dalam meriwayatkan hadits Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Imam Ibnu Hajar berkata, “Beliau adalah seorang yang terpercaya lagi sangat teliti (dalam meriwayatkan hadits), orang yang memiliki ilmu dan pemahaman (yang dalam), sangat dermawan lagi (sering) berjihad (di jalan Allah Subhanahu wa Ta'ala), terkumpul padanya (semua) sifat-sifat yang baik.”[50]

Dalam biografi beliau disebutkan bahwa Imam Al-Fudhail bin 'Iyadh pernah bertanya kepadanya tentang sebab dia memliki perniagaan besar dengan mengekspor barang-barang dagangan dari negeri Khurasan ke “tanah haram” (Mekkah). Maka, Abdullah bin Al-Mubarak menjawab, “Sesungguhnya aku melakukan itu adalah untuk menjaga mukaku (agar tidak meminta-minta kepada orang lain), memuliakan kehormatanku, dan menggunakannya untuk membantuku dalam ketaatan kepada Allah.”[51]

Ucapan beliau ini benar-benar terbukti, karena beliau sangat terkenal dengan sifat dermawan, membantu orang miskin dengan sumbangan harta yang sangat besar setiap tahun,[52] serta membiayai semua perbekalan orang-orang yang menunaikan ibadah haji bersama beliau.[53]

Termasuk kedermawanan beliau yang paling utama adalah menanggung biaya hidup beberapa imam besar ahli hadits di zamannya, seperti Imam Al-Fudhail bin 'Iyadh,[54] agar mereka bisa lebih berkonsentrasi menyebarkan hadits Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam kepada umat. Beliau berkata, "Sesungguhnya aku mengetahui kemuliaan suatu kaum (para ulama ahli hadits) yang memiliki keutamaan dan kejujuran. Mereka (menyibukkan diri dengan) mempelajari hadits-hadits Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dengan benar dan sungguh-sungguh. Kemudian (setelah itu) kebutuhan umat Islam kepada mereka sangat mendesak (untuk mengenal petunjuk Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam), sedangkan mereka sendiri punya kebutuhan (untuk membiayai kelurga mereka). Jika kami tidak membantu (menanggung biaya hidup) mereka maka ilmu mereka akan sia-sia (tidak tersebar dengan baik), tetapi kalau kami mencukupi (biaya hidup) mereka maka mereka (bisa lebih berkonsentrasi) menyebarkan ilmu kepada umat Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam. Aku tidak mengetahui -setelah kenabian-, tingkatan/kedudukan yang lebih utama daripada menyebarkan ilmu (tentang sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam)."[55]

Jadilah pengusaha yang zuhud

Menjadi pengusaha bukanlah dengan harus menjadi miskin dan menyia-nyiakan harta yang ada, juga bukan dengan mengharamkan apa yang dihalalkan Allah Subhanahu wa Ta'ala. Akan tetapi, bersikap zuhud adalah dengan menggunakan harta dan kekayaan yang dimiliki sesuai dengan petunjuk Allah Subhanahu wa Ta'ala, tanpa adanya keterikatan hati dan kecintaan yang berlebihan kepada harta dan kekayaan tersebut. Atau dengan kata lain, bersikap zuhud adalah dengan tidak menggantungkan angan-angan yang panjang pada harta dan kekayaan yang dimiliki, dengan bersegera menggunakannya untuk hal-hal yang diridhai oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala.

Inilah arti zuhud yang sesungguhnya, sebagaimana ucapan imam Ahmad bin Hambal ketika beliau ditanya, “Apakah makna zuhud di dunia (yang sebenarnya)?” Beliau berkata, "(Maknanya adalah) tidak panjang angan-angan, (yaitu) ketika seseorang berada di waktu pagi maka dia berkata, “Aku (khawatir) tidak akan (bisa mencapai) waktu sore lagi."[56]

Salah seorang ulama salaf berkata, “Zuhud di dunia bukanlah dengan mengharamkan yang halal dan juga bukan dengan menyia-nyiakan harta. Akan tetapi, zuhud di dunia adalah dengan kamu lebih yakin dengan (balasan kebaikan) di tangan Allah daripada apa yang ada di tanganmu, dan jika kamu ditimpa suatu musibah (kehilangan sesuatu yang dicintai) maka kamu lebih mengharapkan pahala dan simpanan (kebaikannya diakhirat kelak) daripada jika sesuatu yang hilang itu tetap ada padamu.”[57]

Sifat inilah yang dimiliki dengan sempurna oleh para shahabat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam yang menjadikan mereka lebih mulia dan utama di sisi Allah Subhanahu wa Ta'ala dibandingkan orang-orang yang datang setelah mereka. Ibnu Mas'ud radhiyallahu 'anhu berkata, "Kalian lebih banyak berpuasa, (mengerjakan) shalat, dan lebih bersungguh-sungguh (dalam beribadah) dibandingkan para shahabat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, tetapi mereka lebih baik (lebih utama di sisi Allah Subhanahu wa Ta'ala) daripada kalian." Ada yang bertanya, “Kenapa (bisa demikian), wahai Abu Abdirrahman?” Ibnu Mas'ud radhiyallahu 'anhu berkata, "Karena mereka lebih zuhud dalam (kehidupan) dunia dan lebih cinta kepada akhirat."[58]

Penutup

Sebagai penutup, renungkanlah nasehat berharga dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam berikut ini,

"Barangsiapa yang (menjadikan) dunia tujuan utamanya maka Allah akan mencerai-beraikan urusannya dan menjadikan kemiskinan/tidak pernah merasa cukup (selalu ada) di hadapannya, padahal dia tidak akan mendapatkan (harta benda) duniawi melebihi dari apa yang Allah tetapkan baginya. Serta, barangsiapa yang (menjadikan) akhirat niat (tujuan utama)nya maka Allah akan menghimpunkan urusannya, menjadikan kekayaan/selalu merasa cukup (ada) dalam hatinya, dan (harta benda) duniawi datang kepadanya dalam keadaan rendah (tidak bernilai di hadapannya)."[59]

Akhirnya, kami akhiri tulisan ini dengan memohon kepada Allah dengan nama-nama-Nya yang maha indah dan sifat-sifat-Nya yang maha sempurna, agar dia menganugerahkan kepada kita sifat zuhud dalam kehidupan dunia dan cinta kepada balasan yang kekal di akhirat, serta semua sifat-sifat baik yang diridhai-Nya, sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengabulkan doa.

وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين

Kota Kendari, 17 Dzulqa'dah 1431

Penulis: Ustadz Abdullah bin Taslim al-Buthoni, M.A.
Artikel www.pengusahamuslim.com


[1] Lihat: kitab Fathul Qadir: 4/52.

[2] HR. At-Tirmidzi (no. 2376), Ahmad: 3/456, Ad-Darimi (no. 2730), dan Ibnu Hibban (no. 3228); dinyatakan shahih oleh Imam Ibnu Hibban dan Syekh Al-Albani.

[3] Lihat kitab Faidhul Qadir: 5/445.

[4] Kitab Al Fawa`id (hlm. 133, cet. Muassasah Ummil Qura, Mesir, 1424 H).

[5] HR. An-Nasa`i dalam As-Sunan: 6/147 dan Al-Hakim dalam Al Mustadrak (no. 2000); dishahihkan oleh Al-Hakim, disepakati oleh Adz-Dzahabi, dan dihasankan oleh Syekh Al-Albani dalam Silsilatul Ahadits Ash-Shahihah (1/449, no. 227).

[6] Lihat: kitab Tuhfatul ahwadzi: 9/334.

[7] HR. At-Tirmidzi (no. 3502); dinyatakan hasan oleh Imam At-Tirmidzi dan Syekh Al-Albani.

[8] Lihat: kitab Faidhul Qadir: 2/507.

[9] Hadits shahih riwayat Al-Bukhari (no. 2988) dan Muslim (no. 2961).

[10] Lihat: catatan kaki kitab Shahihul Bukhari: 3/1152.

[11] Nasihat Imam Ibnu Baththal yang dinukil dalam kitab Fathul Bari: 11/245.

[12] Lihat: keterangan Imam Ibnul Qayyim dalam kitab Igatsatul Lahfan (hlm. 84, Mawaridul Aman).

[13] Hadits shahih Riwayat Al-Bukhari (no. 6075) dan Muslim (no. 116).

[14] Kitab Igatsatul Lahfan (hlm. 83--84, Mawaridul Aman).

[15] Dinukil oleh Imam Ibnul Qayyim dalam kitab Igatsatul Lahfan (hlm. 83, Mawaridul Aman).

[16] Lihat: kitab Tafsir Al-Qurthubi: 18/142 dan Aisarut Tafasir: 4/271.

[17] Kitab Al-Adabusy Syar'iyyah: 3/469.

[18] Kitab Tafsir Ibnu Katsir: 3/390.

[19] Kitab Tafsir Al-Qurthubi: 5/156.

[20] Maksudnya adalah ”al-gibthah” yaitu mengharapkan nikmat yang diberikan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala kepada orang lain tanpa hilangnya nikmat tersebut dari diri orang itu; lihat: kitab Syarhu shahiihi Muslim: 6/97.

[21] Hadits shahih riwayat Al-Bukhari (no. 73) dan Muslim (no. 816).

[22] Hadits shahih riwayat Al-Bukhari (no. 6018) dan Muslim (no. 2481); lafal ini yang terdapat dalam Shahih Muslim.

[23] Lihat: kitab Tafsir Al-Qurthubi: 11/80.

[24] Lihat: Syarah Shahih Muslim: 16/39--40.

[25] Hadits shahih riwayat Al-Bukhari (no. 807 dan 5970) dan Muslim (no. 595).

[26] Kitab Fathul Bari: 3/298.

[27] Lihat: kitab Al-Adabusy Syar'iyyah: 3/468 dan 'Uddatush Shabirin (hlm. 146).

[28] Dalam kitab 'Uddatush Shabirin (hlm. 146 dan 149).

[29] Dalam kitab Al-Adabusy Syar'iyyah: 3/468--469.

[30] Dinukil oleh Imam Ibnul Qayyim dalam kitab 'Uddatush Shabirin (hlm. 149--150).

[31] HR. At-Tirmidzi (no. 3701) dan Al-Hakim (no. 4553); dinyatakan shahih oleh Al-Hakim, disepakati oleh Adz-Dzahabi, dan dinyatakan hasan oleh Syekh Al-Albani.

[32] Lihat: kitab Tahdzibul Kamal: 19/450.

[33] Lihat: kitab Tahdzibul Kamal: 17/327.

[34] Biografi beliau dalam kitab Siyaru A’lamin Nubala’: 4/386 dan Shifatush Shafwah: 2/93.

[35] Kitab Taqribut Tahdzib (hlm. 400).

[36] Lihat: kitab Siyaru A’lamin Nubala’: 4/392.

[37] Lihat: kitab Shifatush Shafwah: 2/96.

[38] Lihat: kitab Siyaru A’lamin Nubala’: 4/394.

[39] Biografi beliau dalam kitab Siyaru A’lamin Nubala’: 6/288 dan Shifatush Shafwah: 32/517.

[40] Kitab Taqribut Tahdzib (hlm. 613).

[41] Lihat: kitab Siyaru A’lamin Nubala’: 6/290.

[42] Ibid: 6/289.

[43] Ibid.

[44] Ibid: 6/293.

[45] Biografi beliau dalam kitab Tahdzibul Kamal: 16/492 dan Siyaru A’lamin Nubala’: 5/10.

[46] Ibid.

[47] Kitab Tahdzibul Kamal: 16/493.

[48] Kitab Siyaru A’lamin Nubala': 5/10--11.

[49] Biografi beliau dalam kitab Tahdzibul Kamal: 16/5 dan Siyaru A’lamin Nubala’: 8/378.

[50] Kitab Taqribut Tahdzib (hlm. 271).

[51] Kitab Tahdzibul Kamal: 16/20 dan Siyaru A’lamin Nubala’: 8/387.

[52] Lihat: kitab Siyaru A’lamin Nubala’: 8/386.

[53] Ibid: 8/385--386.

[54] Ibid: 8/386.

[55] Kitab Tahdzibul Kamal: 16/20 dan Siyaru A’lamin Nubala’: 8/387.

[56] Dinukil oleh oleh Ibnu Rajab dalam kitab beliau Jami'ul 'Ulumi wal Hikam: 2/384.

[57] Dinukil oleh oleh Ibnu Rajab dalam kitab beliau Jami'ul 'Ulumi wal Hikam: 2/179.

[58] Atsar riwayat Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf (no. 34550) dan Abu Nu'aim dalam Hilyatul Auliya': 1/136 dengan sanad yang shahih, juga dinukil oleh Imam Ibnu Rajab dalam kitab Latha`iful Ma'arif (hlm. 279).

[59] HR. Ibnu Majah (no. 4105), Ahmad: 5/183, Ad-Darimi (no. 229), Ibnu Hibban (no. 680), dan lain-lain dengan sanad yang shahih; dinyatakan shahih oleh Ibnu Hibban, Al-Bushiri, dan Syekh Al-Albani.