Selasa, 16 November 2010

Mengkritisi DZIKIR JAMA’I (Dzikir Bersama) Part-2

Bismillah… alhamdulillah… was-sholatu wassalamu ala sayyidina, wa maulana, wa qurrotu a’yunina Muhammadibni abdillah… wa ala alihi wa shohbihi wa man tabi’ahum bi ihsan ila yaumil qiyamah…

Para pembaca yang budiman… semoga Alloh mencurahkan rahmat dan taufiq-Nya kepada kita semua… Bukankah kita semua mencintai Alloh, Tuhan dan Sesembahan kita?! Jika benar kita mencintai-Nya, maka sudahkah kita buktikan kecintaan itu dalam kehidupan nyata?! Lalu apa yang bisa menjadi bukti cinta kita kepada-Nya?! Simaklah firman Alloh berikut ini:“Katakanlah (wahai Muhammad, kepada para hambaku)!: “Jika kalian benar-benar mencintai Alloh, maka ikutilah aku (yakni Nabi Muhammad)! Niscaya Alloh akan mencintai kalian, dan mengampuni dosa kalian. (Sungguh) Dia maha pengampun lagi maha penyayang.” (Alu Imron:31)…

Ayat ini dengan jelas memberikan kita pelajaran berharga, barangsiapa mengaku cinta Alloh, maka hendaklah ia mengikuti sunnah Rosul -shollallohu alaihi wasallam-… Dan dalam rangka mewujudkan cinta Alloh dan Rosul-Nya ini, marilah kita teliti gerak gerik kita dalam hidup ini, sudahkah sesuai tuntunan beliau?! Jika sudah sesuai, maka marilah istiqomah dan giat dalam menjalankannya! Sebaliknya jika kurang sesuai, marilah kita berlapang dada untuk membenahi dan mengoreksinya!… Semoga kita ditunjuki jalan yang lurus oleh-Nya… amin.

Artikel ini adalah lanjutan artikel sebelumnya, semoga bermanfaat bagi kaum muslimin semuanya, utamanya bagi mereka yang semangat untuk kembali meneladani Sang Pembawa Risalah ini, para sahabatnya, para tabi’in, dan para tabiut tabiin… amin.

Dalil keempat:

Banyak maslahat dari dzikir jama’i, diantaranya:

1. Dzikir jamai merupakan sarana untuk saling membantu dalam kebaikan.

Jawaban:

a. Sebenarnya ta’awun dalam dzikir jama’i ini bukanlah ta’awun dalam kebaikan, sebaliknya ia merupakan ta’awun dalam dosa dan kemaksiatan. Mengapa?! Karena itu adalah ta’awun dalam menghidupkan bid’ah yang tidak dituntunkan oleh Rosululloh -shollallohu alaihi wasallam-.

b. Jika dalam dzikir jamai itu ada nilai “ta’awun alal birri wat taqwa” (saling membantu dalam kebaikan dan ketakwaan) tentunya Rosul-lah orang yang pertama menerapkannya, disusul para sahabat yang sangat semangat dalam menauladani beliau. Tapi faktanya beliau dan para sahabatnya tidak pernah melakukan hal itu, dan sungguh telah berdusta setiap orang yang mengabarkan bahwa mereka pernah melakukannya.

c. Dalil ta’awun ini terlalu umum, dan bisa juga dipakai untuk membolehkan amalan yang lainnya, seperti: Siwakan bersama, sholat sunat qobliah dan ba’diyah bersama, menulis wasiat bersama… dan sederet ibadah yang mungkin dilakukan bersama, tapi pelaksanaannya yang secara bersama tidak pernah dicontohkan oleh Teladan kita, Nabi Muhammad -shollallohu alaihi wasallam-. Lalu apakah mereka juga akan menyetujui bolehnya amalan-amalan di atas?! Jika jawabannya “Ya”, maka sungguh mereka jauh dari tuntunan Beliau. Sebaliknya bila jawabannya “Tidak”, maka gugurlah dalil mereka dalam masalah ini.

2. Doa secara jamai lebih mustajab.

Jawaban:

a. Alasan ini juga ada ketika zaman Nabi -shollallohu alaihi wasallam-, meski begitu beliau tidak melakukannya. Jika hal itu memang boleh dilakukan, tentunya beliau akan lakukan doa bersama, minimal 5 kali sehari, setiap selesai sholat. Tapi mengapa hal tidak beliau lakukan?! Jawabannya adalah: Karena hal itu memang tidak disyariatkan oleh Islam. Ibnu Taimiyah, mengatakan: “Tidak ada seorang pun yang meriwayatkan, bahwa Nabi -shollallohu alaihi wasallam- setelah sholat jamaah, melakukan doa bersama dengan para ma’mumnya, baik ketika sholat shubuh, sholat ashar, maupun sholat-sholat yang lainnya. Akan tetapi yang ada nukilannya adalah ketika usai mengimami sholat, beliau menghadap kepada para sahabatnya, lalu berdzikir, dan mengajarkan dzikir kepada mereka”. (Al-Fatawa Al-Kubro 2/205)

b. Doa secara jama’i, jika dilakukan sesekali dan tidak dijadikan kebiasaan, maka hal itu dibolehkan… Berbeda halnya jika dilakukan secara terus menerus, misalnya: Setiap selesai sholat fardhu ada doa jama’inya, setiap selesai kajian ada doa jama’inya, setiap selesai kumpul bersama ada doa jama’inya… Jika prakteknya seperti ini, maka hal ini menjadi bid’ah, karena termasuk ibadah yang tidak ada tuntunannya dari Rosululloh -shollallohu alaihi wasallam-… Asy-Syathibi, seorang ulama besar dari Madzhab Maliki mengatakan: “Doa bersama yang dilakukan secara rutin, tidaklah termasuk perbuatan yang dicontohkan Rosululloh -shollallohu alaihi wasallam-, tidak ada pula ucapan, maupun persetujuan dari beliau tentang itu”. (Ali’tishom: 1/291)

c. Mustajabnya doa sangat dipengaruhi oleh sesuainya doa tersebut dengan tuntunan Rosululloh -shollallohu alaihi wasallam- dalam sifat dan waktunya. Jika praktek doa jama’i itu menyelisihi tuntunan beliau, bagaimana doa itu akan mustajab?! Bagaimana Alloh mengabulkan doa hambanya, yang ketika berdoa ia bermaksiat kepada-Nya dengan bid’ah?! Jika ada bawahan yang meminta bantuan kepada bosnya saat ia melakukan pelanggaran, apa bosnya akan menuruti permintaannya?!… wa lillahil matsalul a’la…

3. Kebanyakan manusia tidak tahu bahasa arab, hingga kemungkinan besar mereka akan salah ucap ketika doa atau dzikir sendiri, padahal salah ucap adalah salah satu sebab tidak mustajabnya doa, dan kita tahu mereka akan terhindar dari kesalahan itu jika doa dan dzikirnya dilakukan secara berjamaah.

Jawaban:

a. Tidak termasuk syarat doa, harus tepat dalam pelafalannya, tapi yang menjadi syarat adalah ikhlas, kesungguhan dalam berharap, dan mengikuti petunjuk Nabi -shollallohu alaihi wasallam-. Bahkan dalam doa juga tidak ada syarat harus menggunakan bahasa arab, kita bisa berdoa dengan bahasa apa saja yang kita mampui, dan Alloh maha mengetahui dan memahami apa yang dikehendaki oleh hamba dalam doanya.

b. Lihatlah para sahabat dahulu, mereka telah menyebar ke berbagai negara setelah meluasnya pemerintahan Islam. Ketika itu, telah banyak terlihat ujmah dan lahn (salah dalam melafalkan kata), dikarenakan banyaknya non arab yang masuk Islam. Meski begitu, tidak ada seorang pun sahabat yang melakukan dzikir jamai ini. Apakah mereka lebih cerdas dari para sahabat dalam mencari jalan keluar permasalahan ini?! Apakah doa dan dzikir jamai satu-satunya jalan keluar dari permasalahan ini, hingga dijadikan sandaran bolehnya praktek itu?!

c. Taruhlah apa yang mereka sebutkan itu benar, yakni tepat dalam melafalkan menjadi syarat dikabulkannya doa dan dzikir, tapi bukankah hal itu juga terjadi ketika membaca Alquran, ketika sholat, dan ketika melakukan ibadah yang lainnya?! Apakah mereka akan mengatakan membaca Alqur’an sebaiknya selalu bersama-sama dengan satu suara agar tidak salah dalam melafalkannya?! Apakah mereka juga mengatakan dzikir dalam sholat sebaiknya diucapkan serentak dengan suara lantang agar tidak salah dalam mengucapkannya?! Bukankah ada cara yang sesuai syariat, misalnya dengan mengajari mereka dalam kesempatan lain, tanpa menciptakan bid’ah baru dalam agama ini?!

d. Jika kekhawatiran salah ucap ketika berdzikir itu bisa diterima, maka harusnya mereka tidak lakukan dzikir jama’i itu di pondok-pondok, madrasah-madrasah dan perkumpulan orang agamis lainnya. Tapi kenyataannya mereka tetap melakukan dzikir jama’i itu di segala tempat dan kondisi… Ini menunjukkan bahwa alasan di atas bukanlah alasan sebenarnya, tapi mereka punya keyakinan bahwa dzikir jama’i itu lebih utama dari pada dzikir sendiri… Sungguh yang benar adalah sebaliknya, dzikir sendiri jauh lebih utama dari dzikir jama’i, karena dengan dzikir sendiri kita bisa lebih tenang, khusyu’, dan ikhlas dalam menjalaninya hanya karena Alloh semata… Bahkan kita dilarang melakukan dzikir jama’i ini, karena tidak adanya tuntunan dari Rosululloh -shollallohu alaihi wasallam- dan para sahabatnya… Ingatlah selalu Sabda Nabi -shollallohu alaihi wasallam- ini: “Ambillah tuntunanku dan juga tuntunan para khulafa’ur rosyidin setelahku! Gigitlah tuntunan itu dengan gigi-gigi geraham kalian! Dan jauhilah hal-hal baru (dalam agama)! Karena setiap yang demikian itu bid’ah, dan setiap bid’ah itu sesat, dan setiap kesesatan itu tempatnya di neraka!”

e. Ajaran Islam adalah ajaran yang mudah, Islam tidak menyuruh umatnya menghapal seluruh dzikir yang dituntunkan oleh Rosul -shollallohu alaihi wasallam-… Di sana juga ada dzikir yang panjang, dan ada yang pendek… Bagi yang mudah menghapal, ia bisa menghapal dzikir yang ia kehendaki, bagi yang sulit menghapal, ia bisa memilih dzikir yang pendek untuk dihapal, seperti: subhanallohalhamdulillahla ilaha illallohAllohu akbar… dan banyak dzikir yang lainnya, kemudian mengulang-ulangnya kapan pun dan selama apapun ia kehendaki… Bukankah ini lebih bebas dan lebih mudah?!… Mengapa kita persulit diri dengan menentukan waktu, tempat, bacaan dll, hingga hal yang asalnya ringan dan sesuai syariat menjadi berat dan menyelisihi syariat?!

Jika benar ada maslahat dalam dzikir jama’i, tapi di sana ada mafsadah yang lebih banyak dan lebih besar dari pada maslahat yang ada, padahal kita semua tahu kaidah yang mengatakan bahwa: “Menghindari mafsadah itu lebih didahulukan, dari pada mendatangkan maslahat”… Diantara banyak mafsadah itu adalah:

a. Menyelisihi petunjuk Rosululloh -shollallohu alaihi wasallam- dan para sahabatnya, dan tidak diragukan bahwa setiap yang demikian itu termasuk bid’ah yang sesat. Seandainya itu kebaikan, tentunya telah dilakukan Nabi -shollallohu alaihi wasallam-, lalu dicontoh oleh para sahabat, dan tentunya banyak nukilan dari mereka tentang dzikir jama’i ini. Tapi karena tidak ada satu pun nukilan dari mereka, itu menunjukkan bahwa mereka tidak pernah melakukannya, dan jika mereka tidak pernah melakukannya padahal mereka mampu, itu berarti menunjukkan bahwa hal itu bukan merupakan syariat islam. Dan setiap yang tidak masyru’ pada saat itu, maka sekarang pun hal itu tidak disyariatkan.

b. Menyebabkan amalan seorang hamba tertolak. Rosul -shollallohu alaihi wasallam- bersabda: “Barangsiapa melakukan amalan yang tidak sesuai dengan tuntunanku, maka amalan itu tertolak”. Lihatlah bagaimana pintarnya setan menggoda manusia, orang yang suka syahwat digoda dengan maksiat agar dosanya semakin menggunung. Adapun orang yang suka ibadah, setan menggodanya dengan bid’ah (seperti dzikir jama’i) agar amalannya tertolak dan tak menghasilkan pahala, atau bahkan malah menuai dosa.

c. Jika tempatnya di masjid, akan mengganggu para jamaah lain yang sedang sholat, dan membaca Alqur’an. padahal beliau telah bersabda: “Ingatlah bahwa kalian semua sedang bermunajat kepada Tuhannya, maka janganlah sebagian kalian mengganggu sebagian yang lain, dan janganlah sebagian kalian mengangkat suaranya atas sebagian yang lain”. (HR. Abu Dawud: 1135, dishohihkan oleh Albani).

d. Kadang terjadi pemotongan ayat dan dzikir yang tidak pada tempatnya, hingga bisa merusak maknanya.

e. Dzikir jamai menyebabkan banyaknya bermunculan dzikir-dzikir bid’ah lainnya. Padahal kita tahu bahwa: “Setiap ada bid’ah yang hidup, berarti ada sunnah yang mati”. Jika semakin banyak bid’ah tumbuh, berarti semakin banyak sunnah yang mati. Sungguh ini merupakan mafsadah yang sangat besar sekali.

f. Menjadikan orang malas berdzikir dan berdoa apabila tidak ada orang yang menuntunnya. Padahal sebenarnya kita diperintah untuk berdzikir dan berdoa kapan saja, dan dimana saja, tentunya dengan adab-adab yang mulia.

Dalil kelima:

Dzikir dengan bentuk seperti ini hanyalah sebuah wasilah, sedang tujuannya adalah beribadah kepada Alloh, padahal ada kaidah mengatakan: “Hukum sebuah wasilah (sarana/perantara), itu seperti hukum tujuannya” dan karena tujuannya adalah ibadah, dan ibadah itu dianjurkan, maka dzikir jama’i juga menjadi sesuatu yang dianjurkan.

Jawaban:

Kaidah di atas bisa dibenarkan bila wasilahnya dibolehkan oleh syariat, misalnya: Membeli air untuk tujuan wudlu yang diwajibkan, atau bekerja untuk menafkahi keluarga yang diwajibkan, atau tidur untuk mengembalikan kekuatan untuk ibadah… dll. Maka kaidah itu bisa diterapkan dalam masalah ini, sehingga membeli air, menafkahi keluarga, dan tidurnya menjadi amal ibadah…

Tapi kaidah itu tidak bisa diterapkan dalam wasilah yang diharamkan, misalnya: Mencuri air untuk tujuan wudlu yang diwajibkan, merampok untuk menafkahi keluarga yang diwajibkan, atau mengonsumsi narkotik agar ibadahnya tenang… dll. Apakah hukum wasilah di sini akan berubah?! Tentunya tidak. Tetap saja mencuri, merampok, dan mengonsumsi narkotik diharamkan, meski tujuannya mulia…

Begitu pula dalam masalah ini, tujuan yang mulia (seperti ibadah dzikir), tidak bisa merubah hukum wasilah yang diharamkan (seperti bid’ah dzikir jama’i). Hal ini telah lama dilarang oleh Nabi -shollallohu alaihi wasallam-. Lihatlah kisah tiga orang sahabat yang datang ke kediaman Rosul -shollallohu alaihi wasallam-! Ketika mereka merasa kecil hati karena mendengar kisah ibadahnya beliau, diantara mereka ada yang ingin sholat semalam suntuk, ada yang ingin puasa terus, dan ada yang ingin tidak menikah seumur hidup… Tujuan mereka sungguh sangat mulia, yakni ingin fokus dan membanyak ibadah, subhanalloh… Tapi Rosul -shollallohu alaihi wasallam- melarang mereka melakukannya, mengapa?! Karena itu tidak sesuai dengan tuntunan Beliau. Renungkan sabda beliau ketika mengingkari mereka: “Maka barangsiapa tidak suka dengan sunnahku, ia bukan termasuk golonganku”… Lihatlah… Tujuan yang mulia tidak otomatis menjadikan wasilahnya baik… Tapi tujuan yang baik, harusnya diraih dengan wasilah yang baik pula…


(Bersambung)

http://addariny.wordpress.com/2009/12/08/mengkritisi-dzikir-jamai-2-utk-dewasa/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tafaddhol,, tinggalkan komentar...