Senin, 28 Juni 2010

Sebab-Sebab Hati Menjadi Keras

Ibnu al-Qayyim rahimahullah mengatakan dalam kitabnya Bada’i al-Fawa’id [3/743], “Tatkala mata telah mengalami kekeringan disebabkan tidak pernah menangis karena takut kepada Allah ta’ala, maka ketahuilah bahwa sesungguhnya keringnya mata itu adalah bersumber dari kerasnya hati. Hati yang paling jauh dari Allah adalah hati yang keras.”

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun berdoa kepada Allah agar terlindung dari hati yang tidak khusyu’, sebagaimana terdapat dalam hadits, “Ya Allah, aku berlindung kepadamu dari ilmu yang tidak bermanfaat, dari hati yang tidak khusyu’, dari hawa nafsu yang tidak pernah merasa kenyang, dan dari doa yang tidak dikabulkan.” (HR. Muslim [2722]).

Diriwayatkan dari Uqbah bin Amir radhiyallahu’anhu, dia berkata, “Wahai Rasulullah, apakah keselamatan itu? Apakah keselamatan itu?”. Maka Nabi menjawab, “Tahanlah lisanmu, hendaknya rumah terasa luas untukmu, dan tangisilah kesalahan-kesalahanmu.” (HR. Tirmidzi [2406], dia mengatakan; hadits hasan. Hadits ini disahihkan al-Albani dalam Shahih at-Targhib [2741]).

Abu Sulaiman ad-Darani rahimahullah mengatakan [al-Bidayah wa an-Nihayah, 10/256], “Segala sesuatu memiliki ciri, sedangkan ciri orang yang dibiarkan binasa adalah tidak bisa menangis karena takut kepada Allah.”

Di antara sebab kerasnya hati adalah :

  • Berlebihan dalam berbicara
  • Melakukan kemaksiatan atau tidak menunaikan kewajiban
  • Terlalu banyak tertawa
  • Terlalu banyak makan
  • Banyak berbuat dosa
  • Berteman dengan orang-orang yang jelek agamanya

Agar hati yang keras menjadi lembut
Disebutkan oleh Ibnu al-Qayyim di dalam al-Wabil as-Shayyib [hal.99] bahwa suatu ketika ada seorang lelaki yang berkata kepada Hasan al-Bashri, “Wahai Abu Sa’id! Aku mengadu kepadamu tentang kerasnya hatiku.” Maka Beliau menjawab, “Lembutkanlah hatimu dengan berdzikir.”

Sebab-sebab agar hati menjadi lembut dan mudah menangis karena Allah antara lain :

  • Mengenal Allah melalui nama-nama, sifat-sifat, dan perbuatan-perbuatan-Nya
  • Membaca al-Qur’an dan merenungi kandungan maknanya
  • Banyak berdzikir kepada Allah
  • Memperbanyak ketaatan
  • Mengingat kematian, menyaksikan orang yang sedang di ambang kematian atau melihat jenazah orang
  • Mengkonsumsi makanan yang halal
  • Menjauhi perbuatan-perbuatan maksiat
  • Sering mendengarkan nasehat
  • Mengingat kengerian hari kiamat, sedikitnya bekal kita dan merasa takut kepada Allah
  • Meneteskan air mata ketika berziarah kubur
  • Mengambil pelajaran dari kejadian di dunia seperti melihat api lalu teringat akan neraka
  • Berdoa
  • Memaksa diri agar bisa menangis di kala sendiri

[diringkas dari al-Buka' min Khas-yatillah, hal. 18-33 karya Ihsan bin Muhammad al-'Utaibi]

Sabtu, 26 Juni 2010

Haruskah Muslimah Memakai Pakaian Hitam?

Jawaban masalah ini bisa kita jumpai rubrik tanya jawab Majalah As-Sunnah Solo tepatnya pada edisi 5 tahun XIII Sya’ban 1430 atau Agustus 2009 pada halaman kelima dengan judul “Soal Warna Baju”.

Redaksi Majalah As Sunnah mendapatkan pertanyaan sebagai berikut, “Ana mau menanyakan apa hukum berpakaian bagi seorang muslimah dengan warna pakaian terang. Apakah ada hadits yang menyatakan berpakaian warna gelap disunahkan? Terkait di Indonesia misalnya, yang sudah menjadi hal umum berpakaian berpakaian warna terang. Apakah bisa dijadikan dalil pemborehan yang berbeda dengan muslimah di negara-negara Arab? Mohon penjelasannya. Jazakumullahu khair” Amri, Samarinda +62852483xxxxx

Berikut ini jawaban redaksi majalah As Sunah atas pertanyaan di atas, “Seorang wanita muslimah boleh memakai pakaian berwarna terang selama tidak menimbulkan fitnah, berdasarkan beberapa riwayat dari para wanita salaf [riwayat-riwayat ini bisa dilihat di dalam kitab Jilbab Mar’atil Muslimah, hlm 121-124; karya Syaikh al Albani].

Namun sepantasnya meninggalkan pakaian berwarna terang yang menarik perhatian atau berwarna-warni yang menarik hati laki-laki. Karena tujuan perintah berjilbab adalah untuk menutupi perhiasan. Kalau jilbab/pakaian itu sendiri dihiasi dengan renda, bros, aksesori, warna-warni yang menarik pandangan orang maka ini bertentangan dengan firman Allah azza wa jalla,

ولا يبدين زينتهن

Dan janganlah para wanita mukminah itu menampakkan perhiasan mereka” (QS an Nur/24:31).

Ummu Salamah-radhiyallahu ‘anha- berkata, "Ketika turun firman Allah (yang artinya), “Hendaknya mereka (wanita-wanita beriman) mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka” (QS al Ahzab/33:59) wanita-wanita Anshar keluar seolah-olah pada kepala mereka terdapat burung-burung gagak karena warna (warna hitam-red) kain-kain (mereka). HR Abu Daud no 4101; dishahihkan oleh Syaikh al Albani.

Hadits ini menunjukkan bahwa wanita-wanita anshar tersebut mengenakan jilbab-jilbab berwarna hitam.

Oleh karena itulah jika keluar rumah, hendaklah wanita memakai pakaian yang berwarna gelap, tidak menyala dan berwarna-warni agar tidak menarik pandangan orang. [Dan tidak harus berwarna hitam, apalagi di sebagian daerah yang masyarakatnya memandang warna hitam itu menyeramkan].


Wallahu a’lam”.



(dikutip dari Majalah As-Sunnah Solo tepatnya pada edisi 5 tahun XIII Sya’ban 1430 atau Agustus 2009 pada halaman kelima dengan judul “Soal Warna Baju”, serta http://ustadzaris.com/haruskah-hitam-menyeramkan)


Nanga Pinoh, Kalbar 26 Juni 2010
Diedit oleh : Abu Abdillah Ad Dani

Hukum Cerita Fiksi (Kisah Tak Nyata)

No fatwa: 8493 tentang cerita yang ada dalam pelajaran ta’bir (membaca teks dalam pelajaran Bahasa Indonesia).

Syeikh Ibnu Jibrin rahimahullah mendapatkan pertanyaan sebagai berikut, “Apa pendapat Anda tentang teks bacaan yang ada dalam buku pelajaran ta’bir yang biasanya berupa cerita rekaan yang tidak pernah terjadi secara real di alam nyata?”


Jawaban Syeikh Ibnu Jibrin, “Jika para hadirin (baca:murid) yang ada di kelas seluruhnya paham bahwa kisah tersebut semata-mata cerita fiksi yang dibuat oleh penulis atau guru yang mengisahkan cerita tersebut dengan tujuan menarik konsentrasi dan perhatian para murid atau sebagai permisalan maka hukumnya adalah tidak mengapa.

Alasannya adalah karena para ulama (terdahulu) membolehkan kisah-kisah fiktif yang ada dalam buku Maqamat karya Badiuz Zaman al Hamdzani dan al Maqamat karya al Hariri dan buku-buku sejenis.

Akan tetapi yang lebih baik adalah mencari kisah-kisah nyata yang disampaikan dengan bahasa sendiri lalu guru menyampaikan pesan dan pelajaran yang terkandung di balik kisah tersebut”.

Sumber: http://ibn-jebreen.com/ftawa.php?view=vmasal&subid=8493&parent=4160

Artikel www.ustadzaris.com

Melamar Kerja dengan Ijazah Hasil Mencontek

Pembahasan yang sangat menarik mengenai hukum melamar kerja dengan ijazah palsu “hasil menyontek”. Penjelasan berikut adalah hasil dialog Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin -rahimahullah- dan Syaikh Muhammad Sholih Al Munajjid -hafizhohullah-. Semoga bermanfaat.

Pertanyaan 3481: Gaji yang didapat dari ijazah palsu

Pertanyaan, “Apa hukum gaji yang didapat oleh orang yang bekerja dengan dasar ijazah keterampilan (semisal ijazah profesi, pent) yang palsu namun pada akhirnya mampu menguasai keahlian tersebut. Ada orang yang masuk kerja dengan ijazah keterampilan yang dipalsukan kemudian setelah enam bulan bekerja dia mampu menguasai pekerjaan ini. Kemampuan yang dia miliki pada akhirnya sama persis dengan pekerja yang memiliki ijazah asli. Apa hukum gaji pegawai semacam ini setelah dia menguasai pekerjaannya?

Jawaban
, “Pertanyaan ini telah kami (Syaikh Muhammad Shalih al Munajjid) sampaikan kepada Syaikh Muhammad bin Shalih al Utsaimin dan terjadilah dialog sebagai berikut:

Ibnu Utsaimin mengatakan, “Menurutku pegawai tersebut harus dites ulang kecuali jika dia hanya melakukan kecurangan ujian (baca:nyontek atau yang lain) pada mata kuliah yang tidak memiliki hubungan dengan pekerjaannya”.



Pertanyaan
, “Bagaimana dengan orang yang memiliki ijazah sarjana namun ketika ujian dia melakukan kecurangan?”.

Jawaban Ibnu Utsaimin, “Yang jadi tolak ukur adalah tahun terakhir. Artinya seandainya ada orang yang melakukan kecurangan dalam ujian kecuali pada ujian semester terakhir maka ijazahnya tidaklah bermasalah”.

Catatan: Fatwa beliau ini berlaku jika transkip ijazah hanya berdasarkan nilai di semester terakhir.


Pertanyaan, “Dengan kata lain selama kuliah selama empat tahun tidak melakukan kecurangan dalam ujian kecuali hanya pada semester terakhir saja?”

Ibnu Utsaimin menjawab, “Betul, yang jadi tolak ukur adalah nilai semester yang dimasukkan ke dalam ijazah”

Pertanyaan
, “Bagaimana jika ijazah orang tersebut palsu artinya dia sama sekali belum pernah mengenyam bangku kuliah? Atau jurusan kuliah yang sebenarnya berbeda dengan ijazahnya, misal ada orang yang kuliah di fakultas ekonomi namun punya ijazah sarjana komputer yang palsu kemudian setelah beberapa saat bekerja di bidang komputer akhirnya dia mahir dalam bidang komputer?

Ibnu Utsaimin menjawab, “Tidak boleh baginya untuk bekerja di bidang tersebut namun sekarang setelah dia mengusai bidang tersebut maka dia harus dites ulang oleh perusahaan tempat dia bekerja”.

Pertanyaan, “Tentu perusahaan tidak memiliki kaitan dengan pihak universitas. Menurut anda orang tersebut harus keluar dari tempat dia bekerja?”

Jawaban Ibnu Utsaimin, “Ada beberapa alternatif
a) keluar dari tempat kerja,
b) jika saat ini orang tersebut memiliki kesiapan hendaknya dia mengajukan diri kepada perusahaan agar mengetesnya terkait dengan mata kuliah yang sangat berhubungan dengan dunia kerja yang dia geluti saat ini,
c) atau jika perusahaan tidak mempermasalahkan apakah dia sarjana ataukah bukan sarjana maka orang tersebut hendaknya dites ulang tentang kemampuannya bekerja di bidangnya saat ini”


Pertanyaan
, “Jadi pegawai tersebut harus mengatakan kepada pihak perusahaan, Adakan tes ulang untuk diriku”?

Ibnu Utsaimin menjawab, “Betul, hendaknya dia sampaikan kepada pihak perusahaan, Aku ingin memastikan kemampuan dalam bekerja maka tolong adakan tes ulang tentang kemampuan kerjaku”.


Pertanyaan, “Jadi tes yang dimaksudkan di sini bukan tes yang dilakukan oleh pihak universitas?” .

Ibnu Utsaimin menjawab, “Betul, pihak perusahaan tidaklah peduli apakah karyawannya itu sarjana ataukah bukan”.


Pertanyaan, “Bagaimana dengan perusahaan yang mempersyaratkan sarjana dan memiliki ijazah dalam bidang komputer untuk bisa bekerja di perusahaan tersebut?”

Ibnu Utsaimin menjawab, “Jadi ada dua kriteria
a) sarjana,
b) memiliki kemampuan di bidang komputer.
Dengan kata lain orang tersebut harus benar-benar memiliki ijazah sarjana yang asli”


Pertanyaan
, “Jadi si pegawai harus menyampaikan kepada pihak perusahaan bahwa dia masuk kerja dengan ijazah palsu? Sehingga perusahaan memiliki dua pilihan yaitu menerima keadaan orang tersebut saat ini karena dia saat ini telah menguasai bidang yang dia tangani atau pegawai tersebut keluar kerja. Dengan kata lain, si pegawai harus menjelaskan kepada tempat dia bekerja keadaan dirinya yang sebenarnya?”

Ibnu Utsaimin menjawab, “Betul”.

الإسلام سؤال وجواب (www.islam-qa.com)

سؤال : 6418 : غش في اختبارات الشهادة الجامعية وتوظّف بها .


Curang dalam ujian untuk mendapatkan ijazah sarjana lalu bekerja dengan ijazah tersebut

Ada orang yang bekerja dengan sebab ijazah sarjana yang palsu. Ada juga yang memiliki ijazah sarjana yang asli namun pernah menyontek pada salah satu ujian semesteran. Ada juga yang melengkapi persyaratan kerja berupa ijazah ketrampilan atau profesi palsu. Mereka semua telah bekerja dan menguasai pekerjaannya dengan baik. Apa yang harus dilakukan mereka bertiga setelah mereka bertaubat? Perlu diketahui bahwa sebagian di antara mereka PNS namun ada juga yang bekerja di perusahaan swasta.

Pertanyaan di atas telah kami sampaikan kepada Syaikh Muhammad bin Shalih al Utsaimin dan jawaban beliau adalah sebagai berikut, “Jika pondasi rusak maka bangunannya tentu rusak. Kewajiban tiga jenis orang di atas adalah mengulang ujian untuk mendapatkan ijazah yang dengan sebab ijazah tersebut mereka bisa mendapatkan gaji. Namun seandainya saat ujian semester terakhir orang tersebut tidak menyontek dan menyontek hanya dilakukan pada semester-semester sebelumnya maka aku berharap orang tersebut tidak berdosa disebabkan gaji yang didapatkan dengan ijazah semacam itu”.


Pertanyaan, “Namun nilai yang diberikan di ijazah atau di transkip nilai adalah nilai untuk semua mata kuliah yang diajarkan selama masa belajar”.

Ibnu Utsaimin menjawab, “Jika demikian orang tersebut tidak boleh menerima gajinya sehingga dia mengulang semua ujian tanpa contekkan”.



Pertanyaan
, “Namun realitanya, andai orang tersebut menghadap ke pihak universitas dan menyampaikan keinginannya untuk melakukan ujian ulang maka pihak universitas akan mengatakan bahwa sistem pembelajaran yang ada tidak mengizinkan hal semacam itu”.

Ibnu Utsaimin menjawab, “Jika demikian hendaknya orang tersebut keluar dari tempat kerjanya kemudian mencari pekerjaan baru sesuai dengan ijazah sekolah yang tidak tercemar dengan menyontek atau melakukan kecurangan ketika ujian semisal ijazah SMA-nya”.


Pertanyaan, “Bagaimana jika pegawai tersebut mengatakan bahwa dia telah menguasai pekerjaan dengan baik dan kemampuannya dalam bekerja menyebabkan dia berhak untuk bekerja meski tidak memiliki ijazah?”

Ibnu Utsaimin menjawab, “Jika demikian, hendaknya dia melapor ke bagian personalia tempat dia bekerja dan menyampaikan bahwa realita senyatanya dari ijazahnya adalah demikian dan demikian. Jika pihak tempat dia bekerja mengizinkan orang tersebut untuk tetap bekerja di tempat tersebut dengan pertimbangan bahwa dia telah menguasai pekerjaan dengan baik maka aku berharap moga dia tidak berdosa jika tetap bekerja di tempat tersebut”.

Wallahua'lam...

الإسلام سؤال وجواب (www.islam-qa.com

Sumber:http://www.saaid.net/Doat/Zugail/27.htm

Artikel www.ustadzaris.com



Nanga Pinoh, Kalbar 26 Juni 2010

Di edit oleh : Abu Abdillah Ad Dani

Beginilah "Ciuman"

Perlu sekali kita mengenal jenis-jenis ciuman dari pembahasan berikut ini. Semoga bermanfaat.

Jenis-Jenis Ciuman

Sebagian pakar fikih menyebutkan bahwa ciuman itu ada lima jenis.
a. Ciuman cinta, itulah ciuman kepada anak di pipinya.
b. Ciuman belas kasihan, itulah ciuman kepada ibu dan bapak di kepalanya.
c. Ciuman sayang, itulah ciuman kepada saudara di dahinya.
d. Ciuman birahi, itulah ciuman kepada istri atau budak perempuan di mulutnya.
e. Ciuman penghormatan, itulah ciuman di tangan untuk orang-orang yang beriman.

Sebagian pakar fikih menyebutkan adanya ciuman jenis keenam yaitu ciuman syar’i yang ditujukan kepada hajar aswad. [ad Durr al Mukhtar yang dicetak bersama Hasyiah Ibnu Abidin 5/246 dan al Adab al Syar’iyyah karya Ibnu Muflih 2/272 dan 272].

Ciuman yang terlarang.

A. ciuman untuk wanita ajnabiah (bukan istri dan bukan mahram)

Seluruh pakar fikih bersepakat bahwa sentuhan dan ciuman kepada wanita ajnabiah adalah terlarang meski dalam rangka meminang wanita tersebut [Ibnu Abidin 5/233, 234 dan 237, Jawahir al Iklil 1/275, al Qalyubi 3/208, Nihayah al Muhtaj 6/190, Kasyaf al Qana’ 5/10 dan al Mughni 6/553 dan halaman selanjutnya].

B. Ciuman kepada amrad (laki-laki yang tidak berjenggot)
Jika amrad tersebut bukan ‘baby face’ maka statusnya sebagaimana umumnya laki-laki. Sehingga seorang laki-laki boleh menciumnya dalam rangka mengucapkan kata perpisahan karena hendak bepergian atau dengan maksud mengungkapkan rasa sayang asalkan tanpa birahi atau syahwat.

Namun jika amrad tersebut ‘baby face’ atau laki laki yang tampak seperti perempuan yang dapat menimbulkan syahwat maka statusnya sebagaimana wanita bagi laki-laki yang lain. Sehingga seorang laki-laki tidak boleh berjabat tangan, mencium dan memeluknya jika dengan maksud mencari ‘kenikmatan’. Demikian pendapat mayoritas ulama pakar fikih. [Ibnu Abidin 5/233, al Zarqani 1/167, Jawahir al Iklil 1/20, 275, al Jamal 4/126, Hasyiah al Qalyubi 2/213 dan Kasyaf al Qana’ 5/12-15].

C. Laki-laki mencium laki-laki, perempuan mencium sesama perempuan
Tidak boleh bagi seorang laki-laki untuk mencium mulut, tangan ataupun anggota badan sesama laki-laki jika dengan syahwat. Demikian pula ciuman, pelukan dan sentuhan badan di antara sesama perempuan jika diiringi syahwat.

Hal di atas adalah hukum yang tidak diperselisihkan oleh para ulama fikih dikarenakan ada riwayat dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau melarang pelukan dan ciuman. [Hadits di atas disebutkan oleh al Harawi dalam Gharib al Hadits 1/171 dari ‘Iyyasy bin Abbas secara mursal]

Namun jika ciuman tersebut tidak pada mulut dan sebagai ungkapan penghormatan dan bakti atau untuk mengungkapkan rasa sayang saat bertemu ataupun berpisah maka hukumnya adalah boleh. [Ibnu Abidin 5/244, 246, al Binayah ‘ala al Hidayah 9/326, 327, Jawahir al Iklil 1/20, al Qolyubi 3/213 dan Hasyiah al Jamal ‘ala Syarh al Minhaj 4/126].

Mencium tangan orang yang zalim
Para ulama pakar fikih menegaskan tentang tidak bolehnya mencium tangan orang yang zalim (semisal polisi yang zalim dst, preman dll, pent). Para ulama fikih mengatakan bahwa perbuatan tersebut adalah maksiat kecuali dalam kondisi khawatir dizalimi jika tidak mencium tangannya.

Penulis kitab ad Durr mengatakan, ‘Tidak ada keringanan dalam mencium tangan seorang yang bukan ulama dan bukan orang yang shalih. Makruh hukumnya apa yang dilakukan oleh orang-orang awam yang mencium tangannya sendiri ketika berjumpa dengan orang lain. Demikian pula makruh hukumnya mencium tangan teman sendiri ketika berjumpa jika teman tersebut bukanlah seorang ulama ataupun orang yang shalih dan bukan karena maksud dengan menghormatinya atau menghormati statusnya sebagai seorang muslim. [ad Durr al Mukhtar dan Hasyiah Ibnu Abidin 5/245, 246, al Adab al Syar’iyyah karya Ibnu Muflih 2/272 dan Tuhfah al Ahwadzi 7/527].

Mencium tanah di hadapan ulama atau orang yang ditokohkan.
Mencium (baca: meletakkan mulut) di tanah (bukan, sujud-pent) di hadapan ulama atau orang yang ditokohkan hukumnya haram. Pelaku dan orang yang rela diperlakukan demikian itu berdosa karena perbuatan ini menyerupai penyembahan terhadap berhala.
Apakah orang yang melakukannya menjadi kafir?

Perlu rincian:
a. Jika dalam rangka beribadah dan mengagungkkan orang yang ada di hadapannya maka pelakunya menjadi kafir.
b. Jika dengan maksud memberikan penghormatan maka tidak menjadi kafir, namun pelakunya berdosa karena telah melakukan dosa besar.

Rincian ini ditegaskan oleh penulis kitab ad Durr. [ad Durr al Mukhtar yang dicetak bersama Ibnu Abidin 5/246 dan al Binayah Syarh al Hidayah 9/326 dan 327].

Sumber: Al Mausuah al Fiqhiyyah al Kuwaitiyyah juz 13 hal 129-131, cetakan kelima 1427 H, terbitan Depag Kuwait. Dan dikutip dari www.ustadzaris.com


Nanga Pinoh, Kalbar 26 Juni 2010
diedit oleh : Abu Abdillah Ad Dani

Jumat, 25 Juni 2010

Betapa Menyedihkannya Pemuja Dunia

Oleh Syaikh Abdul Malik bin Muhammad al-Qasim

‘Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhu menulis surat kepada ‘Abdullah bin ‘Abbas Radhiyallahu ‘anhu yang isinya, “Amma ba’du. Sesungguhnya seseorang merasa rugi dengan sesuatu yang hilang darinya, padahal hal itu tidak akan bisa ia dapatkan dan merasa bahagia dengan mendapatkan sesuatu yang pasti ia dapatkan. Maka berbahagialah dengan apa-apa yang aku ucapkan dari urusan akhirat dan menyesallah dari sesuatu yang hilang darimu akan urusan akhirat, janganlah terlalu bahagia dengan apa yang engkau dapatkan dari urusan dunia. Dan jadikanlah semua fikiranmu tertuju kepada sesuatu yang terjadi setelah kematian. ”

Aku melihat pencari dunia, walaupun umurnya panjang,
dan mendapatkan kebahagiaan, juga kenikmatan darinya.

Bagaikan seorang tukang bangunan yang membangun,
setelah bangunan yang ia buat berdiri tegak, maka bangunan itu roboh. [Irsyaadil ‘Ibaad, hal. 120.]

Saudaraku tercinta…
Sebab kegalauan hidup itu ada lima macam dan seyogyanya seseorang merasakan kegalauan karena kelima macam tersebut:

  • Pertama : Kegalauan karena dosa pada masa lampau, karena dia telah melakukan sebuah perbuatan dosa sedangkan dia tidak tahu apakah dosa tersebut diampuni atau tidak? Dalam keadaan tersebut dia harus selalu merasakan kegalauan dan sibuk karenanya.
  • Kedua : Dia telah melakukan kebaikan, tetapi dia tidak tahu apakah kebaikan tersebut diterima atau tidak.
  • Ketiga : Dia mengetahui kehidupannya yang telah lalu dan apa yang terjadi kepadanya, tetapi dia tidak mengetahui apa yang akan menimpanya pada masa mendatang.
  • Keempat : Dia mengetahui bahwa Allah menyiapkan dua tempat untuk manusia pada hari Kiamat, tetapi dia tidak mengetahui ke manakah dia akan kembali (apakah ke Surga atau ke Neraka)?
  • Kelima : Dia tidak tahu apakah Allah ridha kepadanya atau membencinya?

Siapa yang merasa galau dengan lima hal di atas dalam kehidupannya, maka tidak ada kesempatan baginya untuk tertawa. [Tanbiihul Ghaafiliin (I/213).]

Ibrahim at-Taimi rahimahullah berkata, “Berapa jarak antara kalian dengan mereka (orang-orang shalih)? Dunia datang kepada mereka, tetapi mereka meninggalkannya, dan dunia meninggalkan kalian, tetapi kalian terus mengejarnya.” [Shifatush Shafwah (III/90) dan as-Siyar (V/61).]

Seakan-akan engkau tidak mendengar berita orang-orang terdahulu, dan tidak melihat apa yang dilakukan oleh zaman terhadap mereka yang ada. Jika engkau tidak tahu, maka itu semua adalah rumah-rumah mereka,
yang dihancurkan oleh angin dan hujan.

Demikianlah mereka semua telah berlalu dan orang yang ada sekarang ini berlalu sehingga mereka semua kelak dikumpulkan. Sampai kapan engkau tidak bangkit sedangkan waktu yang ditentukan telah dekat dan sampai kapan bendungan di dalam hatimu tidak terbelah.

Sungguh engkau akan bangkit ketika semua penutup telah terbuka dan engkau akan mengingat kata-kataku ketika tidak bermanfaat lagi apa yang engkau ingat.

Abu Dzarr al-Ghifari Radhiyallahu ‘anhu berdiri di dekat Ka’bah dan berkata, “Wahai manusia, aku adalah Jundub al-Ghifari, marilah kita menuju saudara kita yang selalu memberikan nasihat.” Lalu yang lainnya berkerumun mengelilinginya, beliau berkata, “Bagaimana pendapat kalian jika hendak melakukan perjalanan, bukankah dia akan menyiapkan perbekalan dan segala sesuatu yang dibutuhkannya?” Mereka semua menjawab, “Tentu saja.” Lalu dia berkata lagi, “Sesungguhnya perjalanan menuju akhirat adalah lebih jauh, maka ambillah segala sesuatu yang kalian butuhkan!” Mereka semua bertanya, “Apa yang kami butuhkan itu?” Beliau berkata, “Lakukanlah haji sebagai persiapan untuk masalah-masalah yang sangat besar. Berpuasalah pada suatu hari yang sangat panas sebagai bekal untuk hari di mana semua manusia dikumpulkan. Lakukanlah shalat dua raka’at di malam yang gelap sebagai persiapan bagi ketakutan di dalam kubur, sebuah kalimat yang baik engkau katakan atau diam untuk tidak mengungkapkan kata-kata yang jelek sebagai bekal bagi hari yang sangat agung, bershadaqahlah dengan hartamu agar engkau selamat pada hari yang penuh dengan kesulitan, jadikanlah dunia menjadi dua majelis: satu majelis untuk mencari yang halal (rizki) dan satu majelis untuk mencari kebahagiaan di akhirat, sedangkan yang ketiganya akan mencelakakanmu dan tidak bermanfaat bagimu. Bagilah harta itu menjadi dua dirham, satu dirham dinafkahkan untuk keluarga dan satu dirham lainnya engkau persembahkan untuk akhirat.”

Saudaraku semuslim…
Lihatlah orang yang mendapatkan dunia dan per-hiasannya,
apakah dia pergi dengan membawa selain amal dan kafan.

Al-Hasan al-Bashri, kehidupannya sangat berbeda dengan kehidupan kita, beliau rahimahullah berkata, “Aku mendapati suatu kaum (para Sahabat Nabi) dan bersanding dengan beberapa orang dari mereka, mereka sama sekali tidak merasa senang dengan dunia yang didapatkan dan sama sekali tidak mengejar dunia yang lari dari mereka. Dunia di mata mereka lebih hina daripada tanah, bahkan salah satu di antara me-reka hidup selama lima puluh tahun atau enam puluh tahun. Akan tetapi ia tidak pernah memiliki pakaian yang cukup dan tidak pernah memiliki tungku yang baik, ia sama sekali tidak membuat penghalang antara tanah dengan dirinya dan tidak pernah memerintahkan orang yang ada di rumahnya untuk membuat sebuah makanan baginya. Tetapi ketika malam tiba, mereka menancapkan kedua kaki dengan berdiri dan menghamparkan wajah-wajah mereka untuk bersujud, air mata berlinang, mengalir di garis wajah mereka dengan bermunajat kepada Rabb dalam kebebasan mereka. Jika mereka melakukan suatu kebaikan, maka mereka selalu mensyukurinya dan memohon kepada Allah agar amal itu diterima. Dan jika mereka melakukan kejelekan, maka perasaan sedih selalu menghantui dan mereka pun terus memohon kepada Allah agar diampuni. Demi Allah, mereka sama sekali tidak akan selamat dari dosa kecuali dengan ampunan Allah sebagai kasih-sayang dan karunia bagi mereka.”[Al-Ihyaa’ (IV/239).]

Saudaraku tercinta, di manakah kita di antara mereka?!
Engkau menyambungkan dosa dengan dosa dan berharap mendapatkan,
Surga dan kebahagiaan ahli ibadah dengannya.
Dan engkau lupa sesungguhnya Allah mengeluarkan Adam,
darinya menuju dunia hanya karena satu kesalahan (dosa).

Kita -wahai saudaraku- mencari kenikmatan dan kebahagiaan dengan menjauhi segala kekeruhan.

Inilah keadaan kita, adapun keadaan Abud Darda’ sebagaimana yang digambarkan oleh beliau dalam ungkapannya, “Aku mencintai kefakiran karena kerendahan hatiku kepada Allah, aku mencintai kematian karena kerinduanku kepada-Nya, dan aku mencintai kondisiku dalam keadaan sakit sebagai penghapus atas dosa-dosaku.”[Az-Zuhd, hal. 217.]

Manusia memiliki ketamakan terhadap dunia dengan rencananya,
sedangkan kejernihannya telah tercampur dengan kekeruhan.
Setelah dunia itu dibagikan, sebenarnya mereka sama sekali tidak dikaruniai rizki karena akal mereka, akan tetapi mereka dikaruniai dengan takdir Allah.

Berapa banyak orang yang beradab lagi cerdas tetapi dunia tidak memihak kepadanya
dan berapa banyak orang bodoh yang mendapatkan dunia hanya dengan kelalaian.
Seandainya dunia itu didapatkan dengan kekuatan atau dengan menggulingkan,
niscaya elang akan terbang dengan membawa makanan burung pipit. [Taariikhul Khulafaa’, hal. 171.]

Dunia walaupun dia adalah sesuatu yang sangat hina, hanya saja dia adalah sebuah lorong perjalanan menuju akhirat dan sebuah jembatan menuju dua tempat, Surga atau Neraka. Marilah kita melihat satu lorong yang mengantarkan seseorang menuju Surga, yaitu amal (shalih) di dunia.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Seseorang dari kalangan sebelum kalian dihisab akan tetapi tidak didapat darinya satu kebaikan pun hanya saja dia adalah orang yang selalu bergaul dengan selainnya yang ada dalam keadaan sulit, dia memerintahkan anak mudanya untuk membayarkan hutang orang yang sulit tadi. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, ‘Aku sebenarnya lebih berhak untuk melakukannya, maka ampunilah ia.’” [HR. Al-Bukhari dan Muslim dengan lafazh milik Muslim]

Imam asy-Syafi’i rahimahullah berkata, “Amal yang paling sulit adalah tiga macam: berderma dalam keadaan sulit, wara’ dalam keadaan menyendiri dan sebuah ungkapan yang hak di hadapan orang yang diharapkan dan orang yang ditakuti.”[Shifatush Shafwah (II/251).]

Al-Hasan rahimahullah berkata, “Esok hari setiap orang sesuai dengan apa yang menjadi beban fikirannya dan setiap orang yang memikirkan sesuatu, maka dia akan banyak mengingatnya. Sesungguhnya tidak ada dunia bagi orang yang tidak memikirkan akhirat. Dan siapa saja yang lebih mementingkan dunia daripada akhirat, maka dia tidak akan mendapatkan dunia dan akhirat.”[Hilyatul Auliyaa’, hal. 144]

[Disalin dari kitab Ad-Dun-yaa Zhillun Zaa-il, Penulis ‘Abdul Malik bin Muhammad al-Qasim, Edisi Indonesia Menyikapi Kehidupan Dunia Negeri Ujian Penuh Cobaan, Penerjemah Beni Sarbeni, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir. Dipublikasikan oleh www.almanhaj.or.id]


Nanga Pinoh, Kalbar 25 Juni 2010

Diedit oleh : Abu Abdillah Ad Dani


Dimanakah Allah?

Sungguh tidak syak (ragu) lagi terutama bagi orang yang mau membaca ayat-ayat al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi Shallallahua’laihi wa sallam serta kitab-kitab ulama Ahlus Sunnah bahwasanya Alloh berada di atas ‘arsy (singgasana)-Nya di atas langit. Berikut akan kami sampaikan beberapa nash/dalil yang akan menjelaskannya.


1. Dalil dari al-Qur’an


Banyak sekali dalil-dalil al-Qur’an yang menunjukkan ketinggian Alloh dengan beberapa versi:

A. Kadang dengan lafazh ‘ali (tinggi) dan istiwa’ (bersemayam) di atas ‘arsy. Seperti firman Alloh:


وَهُوَ الْعَلِيُّ الْعَظِيْمُ

Dan Alloh Maha Tinggi lagi Maha Besar. (QS. al-Baqarah: 255)


الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى

Ar-Rahman (Yang Maha Pemurah) bersemayam di atas ‘arsy. (QS. Thaha: 5)


B. Kadang juga dengan naiknya sesuatu kepada-Nya. Seperti firman Alloh:


إِلَيْهِ يَصْعَدُ الْكَلِمُ الطَّيِّبُ وَالْعَمَلُ الصَّالِحُ يَرْفَعُهُ

Kepada-Nyalah naik perkataan yang baik, dan amal shalih dinaikkan-Nya. (QS. Fathir: 10)


تَعْرُجُ الْمَلاَئِكَةُ وَالرُّوْحُ إِلَيْهِ

Malaikat-malaikat dan Jibril naik kepada-Nya. (QS. al-Ma’arij: 4)


C. Kadang juga dengan turunnya sesuatu dari-Nya. Seperti firman Alloh:


قُلْ نَزَّلَهُ رُوحُ الْقُدُسِ مِن رَّبِّكَ بِالْحَقِّ

Katakanlah Ruh Qudus (Jibril) menurunkan al-Qur’an dari Rabbmu dengan benar. (QS. an-Nahl: 102)

.


2. Dalil dari as-Sunnah

Ketinggian Alloh di atas langit juga ditegaskan dalam banyak sekali hadits Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan beberapa versi, baik berupa perkataan, perbuatan, dan taqrir (persetujuan). Seperti sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:


إِنَّ اللهَ لَمَّا قَضَى الْخَلْقَ كَتَبَ عِنْدَهُ فَوْقَ عَرْشِهِ إِنَّ رَحْمَتِيْ سَبَقَتْ غَضَبِيْ

Sesungguhnya Alloh tatkala menetapkan penciptaan, Dia menulis di sisi-Nya di atas ‘arsy: “Rahmat-Ku mengalahkan kemarahan-Ku.” HR. Bukhari 7422 dan Muslim 2751


Dan juga sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:


أَلاَ تَأْمَنُوْنِيْ وَأَنَا أَمِيْنُ مَنْ فيِ السَّمَاءِ

Tidakkah kalian mempercayaiku padahal aku dipercaya oleh Dzat yang di atas langit (HR.Bukhari 4351 dan Muslim 1064)


Dan telah tetap pula bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengangkat tangannya ke atas langit pada saat khutbah di Arafah ketika mereka mengatakan, “Kami bersaksi bahwa engkau telah menyampaikan dan menunaikan serta menasehati.” Di saat itu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Ya Alloh saksikanlah.” HR. Muslim 1218


Dari Muawiyah bin Hakam As-Sulami -radhiyallahu ‘anhu- berkata: “…Saya memiliki seorang budak wanita yang bekerja sebagai pengembala kambing di gunung Uhud dan Al-Jawwaniyyah (tempat dekat gunung Uhud). Suatu saat saya pernah memergoki seekor serigala telah memakan seekor dombanya. Saya termasuk dari bani Adam, saya juga marah sebagaimana mereka juga marah, sehingga saya menamparnya, kemudian saya datang pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ternyata beliau menganggap besar masalah itu. Saya berkata: “Wahai Rasulullah, apakah saya merdekakan budak itu?” Jawab beliau: “Bawalah budak itu padaku”. Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya: “Dimana Allah?” Jawab budak tersebut: “Di atas langit”. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya lagi: “Siapa saya?”. Jawab budak tersebut: “Engkau adalah Rasulullah”. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Merdekakanlah budak ini karena dia seorang wanita mukminah”.

Hadits ini disepakati keabsahannya oleh seluruh ulama’ kaum muslimin. Diantaranya : Imam Al-Baihaqi, Imam Al-Baghawi, Imam Adh-Dzahabi, Al-Hafizh Ibnu Hajar dll Hadits ini shahih, dikeluarkan Muslim, Abu Daud, Nasa’.

.

3. Ijma’ (Kesepakatan) Para Ulama

Para sahabat, para tabi’in, serta para imam-imam kaum muslimin telah bersepakat akan ketinggian Alloh di atas langit-Nya, bersemayam di atas ‘arsy-Nya. Perkataan mereka sangatlah banyak dan masyhur, Di antaranya:


1. Imam al-Auza’i berkata, “Kami dan seluruh tabi’in bersepakat mengatakan, Alloh berada di atas ‘arsy-Nya. Dan kami semua mengimani sifat-sifat yang dijelaskan dalam as-Sunnah.” (Shahih. Diriwayatkan Baihaqi dalam Asma’ wa Sifat 408, adz-Dzahabi dalam al-‘Uluw hal. 102 dan dishahihkan Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim, dan al-Albani.)


2. Imam Abdullah Ibnu Mubarak berkata, “Kami mengetahui Rabb kami, Dia bersemayam di atas ‘arsy berpisah dari makhluk-Nya. Dan kami tidak mengatakan sebagaimana kaum Jahmiyah yang mengatakan bahwa Alloh ada di sini (beliau menunjuk ke bumi).” (Shahih. Dikeluarkan ash-Shabuni dalam Aqidah Salaf 28 dan ad-Darimi dalam ar-Radd ala Jahmiyyah hal. 47.)


3. I’tiqad salafiyah ini merupakan syi’ar salafiyun ahlus sunnah wal jama’ah sejak dahulu hingga sekarang, bahkan di antaranya adalah Imam Syafi’i, Abul Hasan al-Asy’ari, Syaikh Abdul Qadir al-Jailani, dan lain-lain. Tidak ada seorang pun dari ulama terdahulu yang mengatakan bahwa Alloh ada di mana-mana, tidak di atas tidak di bawah, dan tidak seorang pun menganggap tabu pertanyaan “Di mana Alloh”!!


1. Imam Syafi’i berkata: Aqidah yang saya yakini dan diyaikini oleh orang-orang yang pernah aku temui seperti Sufyan, Malik dan selainnya adalah menetapkan syahadat bahwa tidaka ada sesembahan yang berhak kecuali Allah dan Muhammad adalah Rasulullah dan bahwasanya Allah di atas arsy-Nya yakni di atas langitnya. (Adab Syafi’I wa Manaqibuhu Ibnu Abi Hatim hal. 93)


2. Imam Abul Hasan Al-Asy’ari berkata dalam Al-Ibanah fi Ushul Diyanah hal. 17 menceritakan aqidahnya: Dan bahwasanya Allah di atas arsy-Nya sebagaimana firman-Nya: “Ar-Rahman tinggi di atas arsy”.

Pada hal. 69-76, beliau memaparkan dalil-dalil yang banyak sekali tentang keberadaan Allah di atas arsy. Di antara perkataan beliau:


وَرَأَيْنَا الْمُسْلِمِيْنَ جَمِيْعًا يَرْفَعُوْنَ أَيْدِيَهُمْ -إِذَا دَعَوْا- نَحْوَ السَّمَاءِ لِأَنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ مُسْتَوٍ عَلَى الْعَرْشِ الَّذِيْ هُوَ فَوْقَ السَّمَاوَاتِ, فَلَوْلاَ أَنَّ اللهَ عَلَى الْعَرْشِ لَمْ يَرْفَعُوْا أَيْدِيَهُمْ نَحْوَ الْعَرْشِ


Dan kita melihat seluruh kaum muslimin apabila mereka berdo’a, mereka mengangkat tangannya ke arah langit, karena memang Allah tinggi di atas arsy dan arsy di atas langit. Seandainya Allah tidak berada di atas arsy, tentu mereka tidak akan mengangkat tangannya ke arah arsy.


وَزَعَمَتِ الْمُعْتَزِلَةُ وَالْحَرُوْرِيَّةُ وَالْجَهْمِيَّةُ أَنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ فِيْ كُلِّ مَكَانٍ, فَلَزِمَهُمْ أَنَّهُ فِيْ بَطْنِ مَرْيَمَ وَفِيْ الْحُشُوْشِ وَالأَخْلِيَةِ, وَهَذَا خِلاَفُ الدِّيْنِ, تَعَالَى اللهُ عَنْ قَوْلِهِمْ


Dan kaum Mu’tazilah, Haruriyyah dan Jahmiyyah beranggapan bahwa Allah berada di setiap tempat. Hal ini melazimkan mereka bahwa Allah berada di perut Maryam, tempat sampah dan WC. Faham ini menyelisihi agama. Maha suci Allah dari ucapan mereka.


Oleh karenanya, saya tidak mengerti, sebenarnya saudara-saudara kita yang berfaham Allah dimana-dimana, siapa sebenarnya yang mereka ikuti?! Nabi, para ulama salaf, ataukah…?!! Fikirkanlah!

.

4. Dalil Akal

Setiap akal manusia yang masih sehat, tentu akan mengakui ketinggian Alloh di atas makhluk-Nya. Hal tersebut dapat ditinjau dari dua segi:

  • Pertama: Ketinggian Alloh merupakan sifat yang mulia bagi Alloh.
  • Kedua: Kebalikan tinggi adalah rendah, sedang rendah merupakan sifat yang kurang bagi Alloh, Maha Suci Alloh dari sifat-sifat yang rendah.

.


5. Dalil Fithrah


  • Sesungguhnya Alloh telah memfithrahkan kepada seluruh makhluk-Nya, baik Arab maupun non-Arab dengan ketinggian Alloh. Marilah kita berpikir bersama di saat kita memanjatkan do’a kepada Alloh, ke manakah hati kita berjalan? Ke bawah atau ke atas? Manusia yang belum rusak fithrahnya tentu akan menjawab ke atas.
  • Pernah dikisahkan bahwa suatu hari Imam Abdul Malik al-Juwaini mengatakan dalam majelisnya, “Alloh tidak di mana-mana, sekarang ia berada di mana pun Dia berada.” Lantas bangkitlah seorang yang bernama Abu Ja’far al-Hamdani seraya berkata, “Wahai ustadz! Kabarkanlah kepada kami tentang ketinggian Alloh yang sudah mengakar di hati kami, bagaimana kami menghilangkannya?” Abdul Malik al-Juwaini berteriak dan menampar kepalanya seraya mengatakan, “Al-Hamdani telah membuat diriku bingung, al-Hamdani telah membuat diriku bingung. (Lihat kisah lengkapnya dalam Siyar A’lam Nubalaal-‘Uluw hal. 276-277 oleh adz-Dzahabi) 18/475, Akhirnya Imam Juwaini pun mendapat hidayah Alloh dan kembali ke jalan yang benar. Semoga saudara-saudara kita yang tersesat bisa mengikuti jejak beliau.
  • Sebenarnya masih sangat banyak lagi dalil-dalil dalam masalah ini, semua ini telah dijelaskan oleh para ulama kita dalam kitab-kitab mereka. Bahkan di antara mereka ada yang membahas masalah ini dalam kitab tersendiri seperi Imam Dzahabi dalam bukunya al-‘Uluw lil Aliyyil Azhim.
  • Semoga Alloh merahmati Imam Ibnu Abil Izzi al-Hanafi yang telah mengatakan –setelah menyebutkan 18 segi dalil–, “Dan jenis-jenis dalil-dalil ini, seandainya dibukukan tersendiri, maka akan tertulis kurang lebih seribu dalil (Sebagian pembesar sahabat Syafi’I berkata: “Dalam Al-Qur’an terlebih seribu dalil atau lebih yang menunjukkan bahwa Allah tinggi di atas para hambaNya”. (Majmu Fatawa Ibnu Taimiyyah 5/121)) Oleh karena itu, kepada para penentang masalah ini, hendaknya menjawab dalil-dalil ini. Tapi sungguh sangatlah mustahil mereka mampu menjawabnya.” (Syarh Aqidah Thahawiyah hal. 386.)


Wallahuta’ala a’lam…..



Nanga Pinoh (Kalbar), 25 Juni 2010-06-25

oleh : Abu Abdillah Ad Dani

sumber : http://abiubaidah.com/tahukah-anda-di-mana-allah.html/

Rabu, 23 Juni 2010

Doa Berjama’ah & Jabat Tangan Setelah Shalat

Petanyaan :

Imam disuatu masjid merasa tidak dihargai kalau ada jamah yang tidak ikut doa bersama dan tidak ikut bersalam salaman setelah sholat. Sesungguhnya, bagaimanakah hukum berdoa berjama’ah dan salam salaman setelah selesi sholat?


Jawaban :

Pertama : Perlu diketahui bahwa imam shalat itu wajib diikuti sampai selesai shalat. Sehingga setelah selesai salam makmum sudah tidak harus mengikuti imamnya.

Dari Anas, dia berkata: “Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam suatu hari sholat mengimami kami. Setelah selesai sholat beliau menghadapkan wajahnya kepada kami kemudian bersabda,”Wahai manusia sesungguhnya aku adalah imam (sholat) kamu, maka janganlah kamu mendahuluiku dengan ruku’,sujud,berdiri,atau salam! (HR Muslim,no.426)

Adapun tentang berdoa setelah shalat adalah dilakukan sendiri sendiri, sebagaimana tertuang dalam hadits berikut ini :


Dari al-Bara’, dia berkata:”Kami para Sahabat dahulu, jika melakukan shalat dibelakang Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam, kami suka berada disebelah kanan beliau, karena beliau akan menghadapkan wajahnya kepada kami”. Al-Bara’ juga berkata,”Wahai Rabb-ku, jagalah aku dari siksa-Mu pada hari Engkau akan membangkitkan atau mengumpulkan hamba-hambamu”.(HR Muslim,no 709)


Walaupun ada sebagian kaum muslimin yang menyukai doa jama’ah setelah shalat, namun sesungguhnya Nabi Shallallahu’alaihi wa Sallam tidak pernah melakukan doa berjama’ah setelah memimpin shalat. Sebaik baik petunjuk adalah petunjuk Nabi Shallallahu’alaihi wa Sallam.


Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata,” Al-hamdulillah, Nabi Shallallahu’alaihi wa Sallam dan makmum tidak pernah berdoa (bersama-sama) setelah shalat lima waktu, sebagaiman dilakukan oleh sebagian orang setelah shalat subuh dan ashar. Dan hal itu tidak pernah diriwayatkan oleh seorang pun (ulama salaf), juga tidak ada seorangpun dari para imam (ulama) yang menyukainya. Barang siapa meriwayatkan dari Imam Syafi’i bahwa beliau menyukainya, maka orang tersebut telah berbuat keliru.terhadap Al Imam As-Syafi’i. Perkataan imam Syafi’i yang ada didalam kitab kitab beliau meniadakan hal itu.


Demikian juga dengan Imam Ahmad dan lainnya tidak menyukainya. Walaupun ada sejumlah orang dari pengikut Imam Ahmad, Imam Abi Hanifah,dan lainnya menyukai doa (jama’ah) setelah sholat subuh dan ashar. Mereka berkata,”Karena tidak ada shalat setelah dua shalat ini, maka diganti dengan doa”, ada juga kelompak orang dari pengikut imam Syafi’i dan lainnya menyukai doa (berjama’ah) itu tidak diperintahkan, baik dengan perintah wajib maupun sunnah, pada tempat ini (setelah shalat). Majmi’Fatawa 22/512-513


Kedua: Berjabat tangan itu dianjurkan ketika bertemu dan keutamaanya adalah akan menggugurkan dosa orang islam yang berjabat tangan tersebut. Adapun kebiasaan berjabat tangan setelah shalat, maka hal ini diingkari oleh banyak ulama, kecuali bagi orang yang belum bertemu sebelumnya.


Imam Al-‘Izz bin Abdis salam berkata, ”Berjabat tangan setelah subuh dan ashar termasuk perkara perkara bid’ah, kecuali bagi orang orang yang baru datang sebelum shalat bertemu dengan orang yang berjabat tangan dengannya. Karena berjabat tangan itu disyariatkan pada waktu datang. Dan kebiasaan Nabi Shallallahu’alaihi wa Sallam setelah shalat adalah melakukan dzikir dzikir yang disyariatkan dan beristighfar tiga kali kemudian pergi. Dan diriwayatkan beliau berdoa setelah shalat : (Wahai Rabbku jagalah aku dari siksa-Mu pada hari Engkau akan membangkitkan atau mengumpulkan hamba-hambamu (HR Muslim,no.709) . Dan seluruh kebaikan itu ada didalam ittiba’ (mengikuti Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam)


(Fatawa al-Izz bin Abdis Salam, hal 46-47 dinukil dari Al Qaulul Mubin fi Akh-thail Mushalin hlm 294)

Imam Al Laknawi berkata : “Sesungguhnya mereka para Ulama telah sepakat bahwa jabat tangan (yakni setelah shalat) tidak ada dalilnya dari syariat. Kemudian mereka berpendapat tentang makruh atau mubah, sepatutknya difatwakan atas larangan padanya, karena menolak bahaya lebih utama daripada mendatangkan kebaikan. Bagaimana tidak menjadi lebih utama , karena orang orang yang berjabat tangan (setelah shalat) dizaman kita ini menganggapnya sebagai perkara yang baik, dan mereka mencela dengan keras terhadap orang yang tidak melakukannya.


Inilah jawaban kami terhadap pertanyaan saudara. Namun hendaklah kita bersikap santun dan sabar dalam usaha mengajak umat menuju sunnah nabi Shallallahu’alaihi wa Sallam agar lebih mudah diterima.




( disalin dari Majalah As Sunnah Edisi 05 Thn XIII, Bertahan Hidup di Masa Sulit, Hal 7-8 )

Nanga pinoh, Kalbar 23 Juni 2010

Diedit oleh : Abu Abdillah Ad Dani

Kebijakan Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam Dalam Mengentaskan Kemiskinan

Pada masa jahiliyah, bangsa Arab sangat dipengaruhi oleh cara berpikir dan sistem perekonomian orang Yahudi. Dalam bidang ekonomi, bangsa Yuhudi menjalankan system riba’. Mereka sangan mahir dalam hal ini dan selalu melakukannya disetiap tempat tidak terkecuali di Makkah dan Madinah.

Setelah islam datang. Ikatan akidah yang kuat telah merubah sistem ini menjadi sistem persaudaraan, gotong royong dan saling membantu. Islam sangat menekankan sisi persaudaraan sesame muslim dalam memperkuat keutuhan masyarakat. Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam selalu menekankan pentingnya persaudaraan dan semangat untuk ta’awun (tolong menolong).

Dahulu ketika kaum Muhajirin berhijrah ke Madinah. Mereka mengalami problematika sosial dan ekonomi. Kaum Muhajirin tidak memiliki modal, sebab seluruh harta mereka sudah ditinggalkan (di Makkah). Mereka juga tidak memiliki lahan pertanian di Madinah, bahkan kaum Muhajirin tidak memiliki pengalaman dalam bidang pertanian. Maka ketika kaum Anshar menawarkan membagi kebun kurma mereka untuk kaum muhajirin, beliau Shallallahu’alaihi wa sallam menolaknya. Karena beliau takut hasil pertanian Madinah akan menurun karenanya. Akhirnya kaum Anshar tetap memiliki kebun mereka namun hasilnya dinikmati bersama.

Kaum Anshar pun rela menghibahkan rumah rumah mereka kepada Rasululullah Shallallahu’alaihi wa sallam. Namun beliau Shallallahu’alaihi wa sallam menolaknya. Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam membangun rumah rumah untuk kaum muhajirin di area tanah yang dihibahkan kaum Anshar dan di area tanah tak bertuan.

Rasulullah Sahallallahu’alaihi wa sallam mengembangkan dua sektor yang sangat penting untuk mendongkrak perekonomian yaitu perdagangan dan sector agrarian (pertanian dan perkebunan). Seperti yang digambarkan oleh Abu Hurairaoh Radiallahu anhu, “Sesungguhnya rekan rekan kita dari kalangan muhajirin sibuk mengurusi perdagangan mereka di pasar dan rekan rekan dari kalangan Anshar sibuk mengelola harta mereka. Yakni sibuk bercocok tanam. Dalam riwayat muslim tercantum, “Mereka sibuk mengolah tanah mereka. Dalam riwayat Ibnu sa’d tertera, “Mereka sibuk mengelola tanah mereka”.

Sekalipun kaum Anshar telah menyerahkan semua yang mereka miliki dan menunjukkan kedermawanan, namun tetap saja dibutuhkan suatu peraturan dan undang undang yang menjamin kesejahteraan kaum Muhajirin dan menjauhkan mereka dari perasaan bahwa mereka hanya menjadi beban bagi kaum Anshar. Oleh karena itu disyariatkanlah undang undang persaudaraan pada tahun pertama hijriyah.

Ketika itu Rasulullah Shallallahu’alihi wa sallam mempersaudarakan 45 orang kaum Muhajirin dengan 45 orang dari kalangan Anshar. Hal ini menyebabkan adanya hal hal khusus bagi dua orang yang dipersaudarakan. Seperti membantu secara mutlak dalam menghadapi segala macam problematika kehidupan baik moral maupun materil.

Setelah kaum Muhajirin mampu menyesuaikan diri dengan iklim kota Madinah dan mengetahui sumber sumber mata pencarian serta mendapatkan harta rampasan pada perang badar yang mencukupi kebutuhan mereka. Maka kembalilah hukum waris pada kondisi semula. Yaitu sesuai dengan hubungan kekerabatan. Dengan begitu dihapuslah hukum saling mewarisi antar dua orang yang saling dipersaudarakan sesuai dengan nash Al Qur’an.

Akan tetapi semua tidak cukup sampai disitu. Khususnya setelah perang Khondak gelombang hijrah ke Madinah terus berlanjut. Sebagian mereka yang baru datang, tidak mengenal siapapun di Madinah Sehingga mereka seperti orang asing yang membutuhkan nafkah dan tempat tinggal yang layak.

Untuk mengatasi hal itu, Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam memerintahkan agar dinding luar masjid sebelah belakang diberi atap. Atap itu kemudian dikenal dengan sebutan Ash-Suffah atau tempat berteduh. Namun tidak ada dinding yang menutup bagian samping bangunan tersebut. Orang orang yang tinggal disana disebut Ahli Shuffah. Tempat ini mampu menampung banyak orang. Diberitakan bahwa jumlah mereka sebanyak 70 orang, lalu bertambah dan berkurang seiring dengan arus hijrah ke Madinah.

Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam sangat memperhatikan kehidupan para Ahli Shuffah, beliau Shallallahu’alaihi wa sallam selalu mendahulukan mereka dalam memberikan infak dan makanan apabila beliau Shallallahu’alaihi wa sallam memiliki kelebihan harta.

Selanjutnya Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam mengusulkan pembuatan tali diantara dua ruangan bagian atas masjid, dan memerintahkan agar setiap orang dari kaum Anshar mengeluarkan setandan kurma dari kebun masing masing untuk ahli Shuffah dan fakir miskin. Lalu para sahabat mengikat tandan tandan (kurma) tersebut di tali itu yang terkumpul kurang lebih dari dua puluh tandan.

Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam mengingatkan kepada para sahabatnya untuk menginfakkan harta mereka kepada ahli Shuffah. Maka para sahabatpun berlomba berbuat kebaikan kepada ahli Shuffah. Para hartawan dari kalangan sahabatpun berlomba lomba mengirimkan makanan kepada mereka.

Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam membagi para ahli Shuffah kepada para Sahabat selepas sholat isya’,agar mereka dijamu dirumah para sahabat tersebut. Kejadian ini terjadi diawal hijrah. Ketika Allah ta’ala telah mencukupi kebutuhan mereka. Maka tidak perlu lagi mengajak mereka makan dirumah sahabat.

Tidak diragukan lagi, siapa saja pasti takjub melihat bentuk persaudaraan yang kokoh serta sikap mendahulukan kepentingan orang lain yang mereka terapkan. Hal seperti ini tidak akan pernah didapat dalam sejarah manusia manapun kecuali dalam sejarah islam.

Dengan cara diatas akan terjadi jaringan social yang sangat kuat antara si kaya dengan si miskin. Si kaya mengeluarkan hartanya untuk membantu masyarakat dan menutup celah celah yang nampak dalam pembangunan sektor ekonomi yang disebabkan perbedaan pendapatan. Mereka akan mengeluarkan zakat sebagai bentuk penunaian kewajiban dari Allah dalam rangka memenuhi kebutuhan kaum fakir miskin. Kaum fakir miskin pun akan merasa gembira jika harta si kaya semakin banyak karena mereka juga akan mendapatkan kebaikan darinya.

Kaum hartawan dan kaum dhu’afa akan sama sama berjuang dalam satu barisan. Tanpa adanya kesenjangan. Islam telah mempersaudarakan mereka. Inilah bentuk masyarkat Muslim di Madinah yang dibina langsung oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam.

Telah tercatat dalam sejarah bahwa Utsman bin Affan radiallahuanhu pernah menginfakkan hartanya sebesar seribu ekor unta lengkap dengan gandum, minyak dan kismis. Untuk orang miskin dikalangan kaum muslimin. Padahal pada saat itu para pedagang telah menawarkan keuntungan baginya sampai lima kali lipat dari modal yang dikeluarkannya. Ia hanya menimpali, “Aku mendapat keuntungan yang lebih besar dari itu”, mereka berkata, “Siapa yang sanggup memberikan keuntungan yang lebih besar dari kami karena hanya kamilah para pedagang di Madinah?” Utsman radiallahuanhu menjawab, “Allah ta’ala telah memberikan keuntungan bagiku sepuluh kali lipat”. Lalu ia bagikan hartanya kepada fakir miskin.

Contoh seperti ini begitu banyak terjadi pada zaman Salafus Sholeh. Oleh karena itu tidak pernah terjadi pertikaian dan perbedaan antar tingkatan social masyarakat. Masyarakat muslim tidak pernah mengenal adanya penindasan si kaya kepada si miskin. Atau penguasa terhadap rakyatnya. Juga tidak ada pengelompokan manusia berdasarkan ras atau warna kulit. Kaum muslimin semuanya sama. Tidak ada yang lebih utama antara yang satu dengan yang lainnya, kecuali dalam hal ketakwaan kepada Allah.

Masyarakat muslim terbuka bagi siapa saja. Tidak pernah ada dalam islam larangan gadis kaya dinikahi oleh pemuda miskin, atau sebaliknya.Tidak ada juga perbedaan derajat, status social atau yang semisal dengannya.

Dengan demikian keistimewaan islam akan tetap tampak dalam pembangunan masyarakat yang kuat dan kokoh diatas pondasi Persaudaraan serta cinta kasih, buah dari keimanan kepada Allah ta’ala. Bukan dengan dasar kebencian, iri atau dengki yang hanya akan menyebabkan kehancuran.

Apabila kaum muslimin pada zaman sekarang ini ingin lepas dari kehinaan, maka tegakkanlah Tauhidullah (ketauhitan kepada Allah), ikutilah Sunnah Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sllam dan jalan para Salafus Sholih. Tinggalkanlah sitem system kuffar. Kembalilah kepada Al Qur’an dan As Sunnah ala fahmi salaf (Al Qur’an dan As Sunnah berdasarkan pemahaman Sahabat). Niscaya Allah akan mengangkat kehinaan itu dari tubuh kaum muslimin.

Wallahua’lam.

Referensi :

Siroah Shahihah tulisan Dr. Akram Dhiya’at al Umari.

Shahih al Bukhari

Fathul Bari karya Ibnu Hajar al-Asqalni

Tahdzib Sirah Ibnu Hisyam Karya Abdus Salam Harun

Nanga Pinoh, Kalbar

Diedit dan ditulis kembali oleh : Abu Abdillah Ad Dani

(Majalah As Sunnah Edisi 05 Thn XIII, Bertahan Hidup di Masa Sulit, hal 28-29 oleh Ustadz Abu Ihsan al Atsari Hafidzhullah)