Rabu, 23 Juni 2010

Tinjauan Seputar Zakat Profesi dan Zakat Maal...

Istilah Zakat Profesi :

Istilah zakat profesi adalah istilah yang baru, yang sebelumnya tidak pernah ada seorang ulamapun yang mengungkapkan dari dahulu hingga saat ini, kecuali Syaikh Yusuf Qaradhowy Rahimahullah. Beliau menuliskan masalah ini dalam kitab Zakat-nya, kemudian di taklid (diikuti tanpa mengkaji kembali nash yang syar’i) oleh para pendukungnya, termasuk di Indonesia ini.

Menurut kaidah pencetus zakat profesi bahwa orang yang menerima gaji dan lain-lain dikenakan zakat sebesar 2,5% tanpa menunggu haul (berputar selama setahun) dan tanpa nishab (jumlah minimum yang dikenakan zakat).

Mereka mengkiyaskan dengan zakat biji-bijian (pertanian). Zakat biji-bijian dikeluarkan pada saat setelah panen. Disamping mereka mengqiyaskan dengan akal bahwa kenapa hanya petani-petani yang dikeluarkan zakatnya sedangkan para dokter, eksekutif, karyawan yang gajinya hanya dalam beberapa bulan sudah melebihi nisab, tidak diambil zakatnya.

Simulasi cara perhitungan menurut kaidah Zakat profesi seperti di bawah ini :

Cara I (tidak memperhitungkan pengeluaran bulanan)

Gaji sebulan = Rp 2.000.000

Gaji setahun = Rp 24.000.000

(misal) 1 gram emas = Rp 100.000

Nishab = 85 gram

Harga nishab = Rp 8.500.000 (Rp100.00*85 gram)

Zakat Anda = 2,5% x Rp 24.000.000 = Rp 600.000,-

Cara II (memperhitungkan pengeluaran bulanan)

Gaji sebulan = Rp 2.000.000

Gaji setahun = Rp 24.000.000

Pengeluaran bulanan = Rp 1.000.000

Pengeluaran setahun = Rp 12.000.000

Sisa pengeluaran setahun = Rp 24.000.000 – 12.000.000 = Rp 12.000.000

1 gram emas = Rp 100.000

Nishab = Rp 85 gram

Harga nishab = Rp 8.500.000

Zakat Anda = 2,5% x Rp 12.000.000 = Rp 300.000,-


Zakat Maal (Harta) yang Syar'i

Sedangkan kaidah umum syar’i sejak dahulu menurut para ‘ulama berdasarkan hadits Rasululloh sholallohu ‘alaihi wassallam adalah wajibnya zakat uang dan sejenisnya baik yang didapatkan dari warisan, hadiah, kontrakan atau gaji, atau lainnya, harus memenuhi dua kriteria, yaitu :

  1. batas minimal nishab dan
  2. harus menjalani haul (putaran satu tahun).

Bila tidak mencapai batas minimal nishab dan tidak menjalani haul maka tidak diwajibkan atasnya zakat berdasarkan dalil berikut :

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda

“Artinya : Kamu tidak mempunyai kewajiban zakat sehingga kamu memiliki 20 dinar dan harta itu telah menjalani saatu putaran haul" [Shahih Hadits Riwayat Abu Dawud].

20 dinar adalah 85 gram emas, karena satu dinar adalah 4 1/4 gram dan nishab uang dihitung dengan nilai nishab emas.

[b] Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Artinya : Dan tidak ada kewajiban zakat di dalam harta sehingga mengalami putaran haul [Shahih Riwayat Abu Daud]

[c] Dari Ibnu Umar (ucapan Ibnu Umar atas sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam). “Artinya : Barangsiapa mendapatkan harta maka tidak wajib atasnya zakat sehingga menjalani putaran haul" [Shahih dengan syawahidnya, Riwayat Tirmidzi]

Kemudian penetapan zakat tanpa haul dan nishab hanya ada pada rikaz (harta karun), sedangkan penetapan zakat tanpa haul hanya ada pada tumbuh-tumbuhan (biji-bijian dan buah-buahan) namun ini tetap dengan nishab.

Jadi penetapan zakat profesi (penghasilan) tanpa nishab dan tanpa haul merupakan tindakan yang tidak berlandaskan dalil, qiyas yang shahih dan bertentangan dengan tujuan-tujuan syari’at, juga bertentangan dengan nama zakat itu sendiri yang berarti berkembang. [Lihat Taudhihul Al Ahkam 3/33-36, Subulusssalam 2/256-259, Bulughul Maram Takhrij Abu Qutaibah Nadhr Muhammad Al-faryabi 1/276/279]

Singkatnya simulasi cara perhitungan menurut kaidah yang syar’i adalah penghasilan kita digunakan untuk kebutuhan kita, kemudian sisa penghasilan itu kita simpan/miliki yang jumlahnya telah mencapai nishab emas yakni 85 gram emas dan telah berlalu selama satu tahun (haul), berarti harta tersebut terkena zakat dan wajib dikeluarkan zakat sebesar 2,5% dari harta tersebut. Sedangkan jika penghasilan kita kadang tersisa atau kadang pula tidak, maka untuk membersihkan harta Anda adalah dengan berinfaq, yang mana infaq ini tidak mempunyai batasan atau ketentuannya.

Contoh perhitungan yang benar :

Gaji sebulan = Rp 2.000.000

Gaji setahun = Rp 24.000.000

Sisa pengeluaran setahun setelah dikurangi pengeluaran = Rp 5.000.000

Nishob 85 gram emas = Rp 8.500.000

Maka Anda tidak terkena kewajiban zakat, karena harta di akhir tahun belum mencapai nishab emas 85 gram tersebut.

Atau

Gaji sebulan = Rp 5.000.000

Gaji setahun = Rp 60.000.000

Sisa pengeluaran setahun = Rp 10.000.000

Nishob 85 gram emas = Rp 8.500.000

Maka Anda terkena kewajiban zakat, karena harta di akhir tahun telah mencapai nishab emas 85 gram tersebut. Kemudian tunggu harta kita yang tersisa sebesar Rp 10.000.000,- tersebut hingga berlalu 1 tahun. Kemudian baru dikeluarkan zakat tersebut sebesar 2.5 % x Rp 10.000.000,- = Rp 250.000,- pada tahun berikutnya.


Zakat Profesi Bertentangan dengan Zakat Maal (Harta)

Oleh karena itu ditinjau dari dalil yang syar’i maka istilah zakat profesi sangat bertentangan dengan apa yang pernah dicontohkan oleh Rasululloh sholallohu ‘alaihi wassallam, dimana antara lain adalah :

1. Penolakan Syaikh Yusuf Qardhawi akan adanya haul. Haul yaitu bahwa zakat itu dikeluarkan apabila harta telah berlalu (kita miliki ) selama 1 tahun. Padahal telah datang sejumlah hadits yang menerangkan tentang haul. Namun hadits-hadits ini dilemahkan menurut pandangan Syaikh Yusuf Qardhawi dengan alasan-alasan yang lemah (tidak kuat alasan pendha’ifannya). Karena hadits itu memiliki beberapa jalan dan syawahid (Penguat).

Oleh karena penolakan ini, maka menurut pendapat Syaikh Yusuf Qardhawi, apabila seseorang menerima gaji (rejeki) melebihi nisab (batasan) zakat, maka wajib dikeluarkan zakatnya.

2. Dari penolakan haul ini (karena dianggap bahwa tidak ada haul), maka Syaikh Yusuf Qardhawi mengkiyaskan dengan zakat biji-bijian. Zakat biji-bijian dikeluarkan pada saat setelah panen.

Hal ini merupakan pengqiyasan yang salah (batil). Karena qiyas dilakukan karena beberapa sebab salah satunya apabila tidak ada dalil yang menerangkan hukumnya. Padahal (sebagaimana yang telah disampaikan secara singkat), terdapat sejumlah hadits dan atsar para sahabat (dalil-dalil) yang menjelaskan mengenai haul.

Kemudian jikapun benar dapat diqiyaskan dengan biji-bijian (pertanian), maka kita harus konsekuen dengan kebiasaan yang umum berlaku dalam masalah panen biji-bijian :

  1. Dimana hasil biji-bijian baru dipanen setelah berjalan 2-3 bulan, berarti zakat profesi juga semestinya dipungut dengan jangka waktu antara 2-3 bulan, tidak setiap bulan !
  2. Dimana hasil biji-bijian akan dikenakan zakat 5 %, maka seharusnya zakat profesi juga harus dikenakan sebesar 5 %, tidak dipungut 2.5 % !
  3. Penolakan dengan akal (bukan dengan dalil). Bahwa kenapa hanya petani-petani yang dikeluarkan zakatnya sedangkan para dokter, eksekutif, karyawan yang gajinya hanya dalam beberapa bulan sudah melebihi nisab, tidak diambil zakatnya.

Hujjah (alasan) ini tidak ilmiah sama sekali dan tidak ada artinya. Karena dalam masalah ibadah, kita harus ittiba' (mengikuti dalil yang jelas dan shahih) . Dengan demikian tidak perlu dibantah (karena Allah memiliki hikmah tersendiri dari hukum-hukum-Nya).

Seperti berfikir dengan akal bahwa :

“Kenapa warisan untuk wanita lebih rendah?”

“Mengapa air seni yang najis hanya disucikan dengan air bersih, sedangkan air mani yang suci harus disucikan dengan mandi janabah?”

“Mengapa orang yang mencuri harus dipotong tangannya sebatas lengan, sedangkan orang yang muhson (telah menikah) harus dirajam bukannya dipotong alat kemaluannya?”,

Dan masih banyak lagi hal yang tidak bisa hanya mengandalkan akal kita yang terbatas untuk mengkaji hikmah ilmu dan kemulian Alloh Azza wa Jalla.

Hal ini, ketika sampai di Indonesia, ada sebagian orang yang berlebihan dalam menghitungnya. Misalkan 1 bulan gaji = 1 Juta, maka 12 bulan gaji = 12 Juta. Maka ini telah sampai nisab, lalu dihitung berapa zakat yang harus dikeluarkan.

Hal ini adalah salah karena tidak ada haul. Selain itu, kita tidak mengetahui masa yang akan datang kalau dia dipecat, atau rezekinya berubah. Atau kita balik bertanya, mengapa pertanyaannya hanya petani, apakah jika petani membayar zakat, lantas pekerja profesi tidak bayar zakat ? Padahal mereka tetap diwajibkan membayar zakat, dengan ketentuan dan syarat yang berlaku.

4. Syaikh Yusuf Qardhawi mengemukakan dalam suatu zaman Umar bin Abdul Aziz bahwa sebagian pegawai diambil gajinya 2,5% sebagai zakat.

Hal ini merupakan salah paham terhadap dalil atau atsar. Karena yang diambil itu harta yang diperkirakan sudah mencapai 1 haul. Yakni pegawai yang sudah bekerja (paling tidak) lebih dari 1 tahun. Lalu agar mempermudah urusan zakatnya, maka dipotonglah gajinya 2,5%. Jadi tetap mengacu kepada harta yang sudah melampaui mencapai nishob dan telah haul 1 tahun saja dari gaji pegawai tersebut.

Kemudian jika dilontarkan suatu syubhat : “Bagaimana bisa mencapai batas nishab jika gaji yang kita peroleh selalu habis kita belanjakan untuk kebutuhan sehari-hari maupun kebutuhan yang sifatnya konsumtif seperti barang elektronik dan lain-lain?”

Hukum syar’i tetaplah hukum yang berlaku sepanjang zaman, yakni zakat harta harus tetap memenuhi syarat nishab. Bila gaji itu dibelanjakan, dan sisanya tidak memenuhi nishab, maka harta itu belum wajib dikeluarkan zakatnya. sebagaimana hadis: "Kamu tidak memiliki kewajiban zakat sehingga kamu memiliki 20 dinar dan harta itu telah menjalani satu putaran haul" (Shahih,HR. Abu Dawud)

“Lantas kapan zakatnya bila sisa gaji itu tidak pernah mencapai nishab?”

Jawabnya: Tidak wajib zakat pada harta yang tidak cukup nishab. Nasehatnya adalah, bila kita merasa mampu berzakat dengan sisa uang gaji yang sedikit, maka hendaknya disalurkan dengan bentuk shadaqoh (yang sunnah).

Alangkah beratnya agama ini bagi orang lain yang sama kondisi ekonominya dengan kita namun dia memiliki banyak keperluan yang harus dia belanjakan untuk keluarganya, bila zakat harta itu tidak memperhitungkan kewajiban nishab.

Biarlah kita yang masih gemar berinfaq ini, menyalurkannya dengan bentuk shadaqoh yang sunat terhadap harta yang belum mencapai nishab tersebut. Tapi jangan sekali-kali mengubah hukum dari yang tidak wajib menjadi wajib, karena ini akan memberatkan kaum muslimin secara umum. Mungkin bagi kita tidak berat, tapi orang lain ?. Sungguh telah binasa umat terdahulu karena mereka melampaui batas dalam agama.

Salah satu dari sekian banyak hikmah adanya syarat nishab adalah agar harta kaum muslimin itu terus berputar dalam perbelanjaan mereka, dan tidak mengendap dalam jumlah yang besar pada satu atau beberapa orang. Ini akan akan berdampak jumlah uang beredar akan menjadi sedikit, kesenjangan semakin meningkat, dan lain-lain.

Bila seseorang itu memiliki harta dia boleh:

  1. membelanjakan dijalan yang halal untuk keluarganya,
  2. atau Mengusahakan harta itu dengan permodalan (misalnya mudharabah dll)
  3. atau Mengeluarkan zakat bila telah terpenuhi syarat-syaratnya
  4. atau Menabungnya bila belum terpenuhi syarat-syaratnya, agar kemudian bisa dikeluarkan zakatnya
  5. Atau dia shadaqohkan/berinfaq (sunnah hukumnya)

Oleh karena itu memperhitungkan gaji semata dalam satu tahun tanpa memperhitungkan bentuk harta yang lainnya adalah cara yang keliru dalam menghitung zakat maal. Zakat termasuk dalam ibadah, dan kaidah dalam menjalankan ibadah adalah menjalankan segala perintah yang dituntunkan Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam. Dalam hal ini Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam tidak memberikan contoh ataupun tuntunan dalam memperhitungkan zakat maal dalam penghasilan semata.

Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam mengajarkan bahwa zakat barang tambang yang wajib dizakatkan adalah emas dan perak, sedangkan tanaman yang wajib zakat adalah gandum, sya’ir, kurma, dan zabib, dan tidak ada satupun Riwayat dari Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam bahwa harta penghasilan adalah harta wajib zakat. Jadi tidak ada dalil yang menerangkannya. Hitunglah berapa penghasilan kita dalam satu tahun lantas dikurangi pengeluaran itulah harta yang tersisa dalam dalam satu tahun, bandingkan dengan nishab emas 85 gram, bila sama atau melebihinya maka wajib zakat,jika tidak maka tidak perlu zakat, namun dengan bershadaqah juga dapat membersihkan harta.


Wallahuta'ala a’lam.


Nanga Pinoh(Kalbar), 23 Juni 2010
Diedit oleh: Abu Abdillah Ad Dani
(dinukil dari : http://aliph.wordpress.com/2007/02/08/zakat-profesi-adakah/)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tafaddhol,, tinggalkan komentar...