Rabu, 23 Juni 2010

Benarkah Hadits Kefakiran mendekatkan Kepada Kekufuran?

Oleh : Ustadz Abu Ubaidah Yusuf bin Mukhtar As Sidawi

Istilah angka kemiskinan, pendapatan perkapita, pengentasan kemiskinan, tingkat harapan hidup, acap kali kita jumpai. Para ahli ekonomi membahasnya dengan serius, bagaikan menghadapi sebuah keburukan yang wajib dienyahkan.

Bahkan ada yang berani menegaskan, masalah utama keterpurukan negara saat ini adalah masalah perekonomian,jika masalah ekonomi bisa ditanggulangi maka negara akan menjadi baik. Demikianlah, masalah ekonomi seakan-akan masalah yang paling inti dari kehidupan ini.

Mungkin saja, para pencetus pemikiran tersebut terpengaruh dengan sebuah hadits yang beredar di masyarakat yaitu “Hampir-hampir kefakiran itu menjadi kekufuran”.

Nah, apakah hadits yang ngetop ini benar-benar shohih ucapan Nabi Muhammad shollallohu alaihi wasallam?! Benarkah isi hadits tersebut? Lantas, bagaimana Islam menyikapi kemiskinan dan kefakiran?! Berikut ini adalah pembahasan sederhana tentangnya.

TEKS DAN TAKHRIJ HADITS

“Hampir-hampir saja kefakiran akan menjadi kekufuran dan hampir saja hasad mendahului takdir.”

HADITS DHO’IF/ LEMAH.

Berkata as-Sakhowi dalam al-Maqosidul Hasanah: “Diriwayatkan Ahmad bin Mani’ dari Hasan atau Anas secara marfu’. Dan diriwayatkan Abu Nu’aim dalam al-Hilyah (3/53,109 dan 8/253), Ibnu Sakan dalam Mushonnaf-nya, al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman (2/486/1) dan Ibnu ‘Adi dalam al-Kamil dari Hasan tanpa ada keraguan.”

Berkata al-‘Iroqi (3/163): “Diriwayatkan Abu Muslim al-Kisyi dan al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman dari riwayat Yazid ar-Roqqosyi dari Anas. Sedangkan Yazid ini, seorang rowi yang lemah.”

Ibnul Jauzi rahimahulloh berkata dalam ‘Ilal Mutanahiyah: 3/163: “Hadits ini tidak shohih dari Rosululloh shollallohu alaihi wasallam. Yazid ar-Roqqosyi tidak diterima riwayatnya. Syu’bah berkata: “Saya zina lebih saya sukai dari pada meriwayatkan hadits dari Yazid ar-Roqqosyi.”

Dan diriwayatkan pula oleh ad-Dulabi dalam al-Kuna (2/131) dari jalan Yazid bin Roqqosyi juga. Demikian pula al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman (2/286/1) dan al-Qudho’i (380). Berkata al-Haitsami dalam “Mazma’ Zawaid” (8/78): “Diriwayatkan ath-Thobaroni dalam al-Ausath dari Anas. Dalam sanadnya, terdapat ‘Amr bin Utsman al-Kilabi, dia dianggap tepercaya oleh Ibnu Hibban padahal dia adalah matruk (ditinggalkan).”

Dan diriwayatkan juga dari hadits Ibnu Abbas, sebagaimana riwayat Abu Bakr ath-Thoritsi dalam Musalsalat-nya: 127-131 dan haditsnya adalah maudhu’ (palsu). Dan diriwayatkan oleh Nashr al-Maqdisi dalam Majalis min Amalihi: 2/195 dari jalur Ali bin Muhammad bin Hatim dari Husain bin Muhammad bin Yahya al-Alawi dari ayahnya dari kakeknya dari Ali bin Abi Tholib secara marfu’ (sampai kepada Nabi). Sanad ini gelap, semua rowi setelah Ali tidak ada yang dikenal. Kesimpulannya, hadits ini lemah, semua penguatnya tidak berguna dan tidak bisa mengangkat derajatnya karena semua jalurnya terlalu parah keadaannya.

MATAN HADITS

Isi hadits ini pun tidak benar, karena mengatakan kefakiran adalah pos menuju kekafiran atau hampir saja kefakiran itu menjadi kekufuran, semua ini membutuhkan dalil yang shohih. Ya, memang ada sebuah hadits yang sekilas sepertinya mendukung hadits ini, yaitu doa Nabi shollallohu alaihi wasallam: “Dan aku berlindung kepada-Mu dari kefakiran dan kekufuran.(HR. an-Nasa’i: 1/198 dan Ahmad dalam Musnad: 5/36, dishohihkan oleh al-Albani dalam Irwa’ul Gholil: 3/357)

Namun konotasi hadits ini sangat berbeda dengan hadits yang sekarang menjadi pembahasan. Sehingga tidak bisa dijadikan penguat, karena konotasi hadits pertama adalah bahwa kefakiran itu mendekati kekafiran, sedangkan konotasi hadits kedua adalah bahwa Nabi shollallohu alaihi wasallam berlindung dari kefakiran dan kekufuran. Penyebutan keduanya dalam doa bukanlah berarti keduanya sama-sama dalam kesatuan.

Sesungguhnya kekuatan Islam tidaklah disyaratkan kuatnya perekonomian, tetapi yang terpenting dari itu adalah kuatnya Aqidah (Tauhid) dan Keyakinan. Hal ini sebagaimana dibuktikan dalam sejarah Nabi shollallohu alaihi wasallam dan para sahabatnya, pemerintahan Abu Bakar, Umar dan lain sebagainya yang dapat mengembalikan dan menyebarkan kejayaan Islam dengan modal penggerak paling inti, yaitu kekuatan aqidah, bukan kekuatan ekonomi semata.

Ketahuilah wahai saudaraku seiman, semoga Alloh subhanu wa ta’ala menjagamu bahwa keterpurukan ekonomi alias kefakiran. Kemiskinan yang menimpa kita sekarang ini bukanlah sesuatu hal yang baru muncul akhir-akhir ini. Hal itu merupakan perkara yang sangat jelas bagi orang yang mau meneliti sejarah. Bukankah kefakiran sudah ada sejak zaman Nabi shollallohu alaihi wasallam dan para sahabat?!

Namun, sekalipun demikian Rosululloh shollallohu alaihi wasallam bersabda:“Tidaklah kefakiran yang aku takutkan atas kalian, tetapi yang aku khawatirkan pada kalian kalau dibentangkan dunia pada kalian sebagaimana dibentangkan kepada orang-orang sebelum kalian lalu kalian berlomba-lomba mengejarnya sebagaimana mereka lakukan lalu membinasakan kalian sebagaimana telah membinasakan mereka.” (HR. al-Bukhori: 3791 dan Muslim: 2961)

Bahkan, sejarah mencatat bahwa sekitar tahun 334 H, di kota Baghdad harga-harga melambung tinggi hingga para penduduknya memakan mayat, kucing dan anjing. Di antara mereka ada juga yang menculik anak-anak lalu memanggang dan memakannya. Rumah-rumah ditukar dengan sepotong roti. Apakah keadaan kita sampai derajat seperti itu?!!

HANYA ISLAM, SOLUSI KEMISKINAN

Kemiskinan dan kefakiran termasuk sunnatulloh kepada hamba-Nya yang tentu saja di balik kondisi tersebut ada hikmahnya, bukan sesuatu yang sia-sia. Coba bayangkan, Jika seandainya semua orang kaya, lantas siapa yang akan mau jadi pekerja? Dan kalau semuanya miskin, siapa yang akan mengupah mereka?! Namun, hal ini jangan dipahami bahwa kalau begitu kita cukup berpangku tangan saja menghadapi kemiskinan dan menyerah dengan nasib. Tidak, sama sekali tidak, Islam telah memberikan jalan keluar untuk menghadapi kepungan wabah ini.

Alangkah bagusnya ucapan Syaikh al-’Allamah Abdur Rohman bin Nashir as-Sa’di rahimahulloh tatkala mengatakan di awal risalahnya yang berjudul ad-Din ash-Shohih Yahullu Jami’a al-Masyakil (Agama Yang Benar Merupakan Solusi Segala Problematika): “Inilah sebuah risalah berkaitan dengan agama Islam yang menunjukkan ajaran terbaik dan membimbing hamba dalam aqidah dan akhlak serta mengarahkan mereka menuju kebahagiaan di dunia dan akhirat. Serta penjelasan yang gamblang bahwa tidak ada cara untuk memperbaiki umat sepenuhnya kecuali dengan Islam.

Dan penjelasan bahwa semua undang-undang yang menyelisihi agama Islam tidak dapat memperbaiki dunia dan akhirat kecuali apabila bersumber dari ajaran agama Islam. Apa yang kami ungkapkan di atas telah dibuktikan kebenarannya oleh fakta dan pengalaman sebagaimana telah ditunjukkan kebenarannya oleh syariat, fithroh dan akal yang sehat, karena agama ini seluruhnya mengajak kepada kebaikan dan membendung kerusakan.”
Selanjutnya beliau menjelaskan bahwa termasuk kebijakan Alloh subhanahu wata’ala tatkala menjadikan sebagian hamba-Nya ada yang kaya dan ada yang miskin agar mereka saling membantu dan bekerja sama dalam mewujudkan kebaikan untuk kedua belah pihak, baik ibadah badan, jihad melawan musuh, program kebajikan dan lain sebagainya dengan badan, harta dan pangkat masing-masing.

Alloh memerintahkan kepada yang kaya untuk mengeluarkan zakat, shodaqoh, dan membantu kebutuhan orang miskin setiap waktu. Demikian juga Alloh memerintahkan kepada yang fakir untuk sabar, bekerja yang halal, bersyukur kepada Alloh, qona’ah (merasa cukup dengan pemberian Alloh) dan pintar-pintar dalam membelanjakan harta. Inilah petunjuk Islam kepada kaum kaya dan kaum miskin. Seandainya masing-masing mau melakukannya, maka niscaya akan terwujud kebaikan di dunia dan akhirat

Wallahua’lam…

Nanga Pinoh, 08 Juni 2010

Diedit oleh : Abu Abdillah Ad Dani

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tafaddhol,, tinggalkan komentar...