Rabu, 23 Juni 2010

Adab dan Etika dalam Berdebat

Dalam kitab Al-Faqih wal-Mutafaqqih, Al-Khathiib Al-Baghdadiy rahimahullah mengangkat satu bahasan yang cukup menarik tentang adab dan etika dalam berdebat. Oleh karena itu, sangat penting kiranya jika penjelasan beliau ini dituangkan secara ringkas dalam Blog ini sehingga dapat memberikan manfaat bagi setiap Pembacanya.

Telah berkata Al-Khathiib Al-Baghdadiy rahimahullah :“Menjadi satu keharusan bagi orang yang berdebat untuk mengutamakan ketaqwaan kepada Allah ta’ala dalam perdebatannya, sebagaimana firman Allah subhaanahu (wa ta’ala) : “Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu” [QS. At-Taghaabun : 16]. Dan juga firman-Nya : “Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang bertakwa dan orang-orang yang berbuat kebaikan” [QS. An-Nahl : 128].

Orang yang berdebat harus mengikhlashkan niat dalam perdebatannya tersebut semata-mata hanya mengharap wajah Allah ta’ala. Kemudian tujuan yang ia harapkan adalah untuk menunjukkan dan mengokohkan kebenaran (al-haq), tanpa harus mengalahkan lawan debatnya.

Telah berkata Asy-Syafi’iy : ‘Aku tidak pernah berbicara kepada seorangpun melainkan aku berharap agar ia ditetapkan dan ditolong dalam kebenaran, serta menjadikan pembicaraanku tadi sebagai petunjuk dan bimbingan Allah kepadanya. Dan aku tidaklah peduli – saat berbicara pada seseorang – apakah Allah akan memberikan kebenaran melalui lisanku atau lisan orang lain”.[1]

Dan agar ia melandasi semua tindakannya di atas nasihat kepada agama Allah dan kepada orang yang didebatnya. Tidak lain adalah karena ia merupakan saudaranya seagama, dan juga bahwasannya nasihat itu merupakan kewajiban yang harus ditunaikan bagi seluruh kaum muslimin”.

Dari Jarir bin ‘Abdillah ia berkata : “Aku berbaiat kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam untuk nasihat kepada seluruh kaum muslimin”.[2]

Dari Za’faraaniy – yaitu Al-Hasan bin Muhammad bin Ash-Shabbaah – dan Abul-Waliid bin Abil-Jaaruud, salah seorang di antara mereka berkata : Aku telah mendengar Muhammad bin Idriis Asy-Syafi’iy bersumpah, dimana ia berkata : “Tidaklah aku mendebat seseorang kecuali dalam rangka nasihat”. Dan berkata yang lain berkata : Aku telah mendengar Asy-Syafi’iy berkata : “Demi Allah, tidaklah aku mendebat seseorang dengan berharap agar ia jatuh dalam kesalahan”.[3]

“Orang yang berdebat itu juga haruslah mempunyai wibawa, menggunakan petunjuk, berperilaku baik, dan tidak banyak bicara kecuali bila diperlukan. Apabila ia mendapatkan dalam perdebatannya itu kalimat yang tidak menyenangkan dari lawan debatnya, sebaiknya diabaikan dan tidak dibalas dengan kalimat yang semisal. Hal itu dikarenakan Allah ta’ala telah berfirman : “Tolaklah perbuatan buruk mereka dengan yang lebih baik” [QS. Al-Mukminuun : 96], dan juga berfirman : “Dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata yang baik” [QS. Al-Furqaan : 63].

Dari Ibnu ‘Abbas radliyallaahu ‘anhuma : Bahwasannya ‘Uyainah bin Hudzaifah pernah berkata kepada ‘Umar : “Wahai Ibnul-Khaththaab, engkau tidak pernah memberi makanan dan tidak pula menghukumi kami dengan ‘adil”. Mendengar hal itu, maka marahlah ‘Umar hingga ia ingin melakukan sesuatu kepadanya (untuk menghukumnya). Melihat itu, Al-Hurr bin Qais berkata kepada ‘Umar : “Wahai Amirul-Mukminiin, sesungguhnya Allah ta’ala telah berfirman kepada Nabi-Nya : ‘Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang makruf, serta berpalinglah daripada orang-orang yang bodoh’ [QS. Al-A’raaf : 199]. Dan orang ini termasuk orang-orang yang bodoh”.

Demi Allah, ‘Umar tidak jadi berbuat sesuatu kepadanya ketika membaca ayat tersebut, dan berhenti semata-mata karena Kitabullah.[4]

“Orang yang berdebat tidak sepantasnya berbicara dengan kata-kata dusta kepada lawan debatnya atau kepada orang yang sangat defens bila kita sampaikan hujjah kepadanya. Tidaklah mungkin kebenaran dapat ditegakkan (dengan cara itu), karena kebenaran tidaklah diraih melainkan dengan keadilan dan meninggalkan kedhaliman serta sikap berlebihan.

Hendaklah ia (orang yang berdebat) menjadikan perkataannya mudah dipahami, ringkas, dan jelas. Sesungguhnya terjaganya dari kesalahan adalah dengan menyedikitkan perkataan, bukan memperbanyaknya. Adapun memperbanyak perkataan dalam debat, itu hanya akan menyembunyikan faedah, menghilangkan maksud, dan mewariskan rasa jemu bagi yang orang menyaksikannya.

Janganlah ia meninggikan suaranya ketika berbicara hingga dapat mencederai tenggorokannya dan memanaskan dadanya lalu terpancinglah emosinya. Namun jangan pula ia merendahkan suaranya hingga tidak dapat terdengar oleh orang-orang yang hadir dan tidak memberikan faedah sedikitpun. Yang seharusnya dilakukan adalah sikap pertengahan antara kedua hal itu”.

“Wajib baginya untuk memperbaiki cara berpikir, menjauhi kesalahan dalam pengucapan, dan berusaha memfasihkan dalam penjelasan. Semuanya itu dapat menolongnya dalam ajang perdebatan yang ia lakukan. Hendaknya ia juga tekun membaca kitab-kitab bermanfaat yang ia miliki ketika sendiri, latihan pendalaman soal-jawab, cerita yang salah dan yang benar; sehingga ia tidak merasa gugup dalam perdebatan saat banyak mata yang hadir tertuju kepadanya.

Jadikanlah bicaranya dengan ilmu dan diamnya dengan kesabaran. Janganlah terburu-buru untuk menjawab dan berambisi menyerang dengan pertanyaan. Juga, menjaga lisan dari apa-apa yang tidak ia ketahui dan dari perdebatan yang tidak ia pahami. Karena hal itu akan dapat menyebabkan rasa malu dan terhentinya pembicaraan/perdebatan. Jika terjadi demikian, maka akan nampaklah kekurangannya dan rendahnya kedudukannya di mata orang yang melihatnya sebagai orang yang berilmu, berpengetahuan, cerdas, dan mempunyai keutamaan”.

[selesai – teringkas dari kitab Al-Faqih wal-Mutafaqqih karya Al-Khathiib Al-Baghdadiy, 2/47-59, Baab Adabil-Jidaal, tahqiq : ‘Adil bin Yusuf Al-‘Azaaziy; Daar Ibnil-Jauziy, Cet. 1, Thn. 1417 H --- dan terinspirasi dari buku Aafaatul-‘Ilmi karya Dr. Abu ‘Abdillah Muhammad bin Sa’id Raslaan hafidhahullah].


[1] Lihat : Aadaabusy-Syaafi’iy wa Manaaqibuhu oleh Ibnu Abi Haatim, hal. 91.

[2] Sanadnya shahih; diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 58, 2714, 2715 dan Muslim no. 56.

[3] Aadaabusy-Syaafi’iy oleh Ibnu Abi Haatim, hal. 92.

[4] Diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 4642 dan 7286.

Catatan : Riwayat ini merupakan riwayat pengganti dari apa yang tertera dalam kitab Al-Faqih wal-Mutafaqqih, karena riwayat yang ada dalam kitab tersebut adalah dla’if karena adanya perawi mubham yang menerima riwayat dari Az-Zuhriy.-


Nanga Pinoh (Kalbar), Senin 07 Juni 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tafaddhol,, tinggalkan komentar...